4,5 Juta Rumah Berpotensi Pakai Listrik Tenaga Surya
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang pembangkit listrik tenaga surya atap diyakini bisa mendorong tumbuhnya industri di dalam negeri. Berdasarkan sebuah penelitian, ada potensi sekitar 4,5 juta rumah tangga yang siap memanfaatkan tenaga surya sebagai pembangkit listrik. Sejauh ini, pemanfaatan tenaga surya di Indonesia menjadi listrik masih kurang dari 100 megawatt atau jauh di bawah potensi sebesar 207.989 MW.
Penelitian yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga kajian tentang pemenuhan energi di Indonesia, menyebutkan bahwa ada sekitar 4,5 juta rumah tangga di Jawa dan Bali yang berpotensi memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Potensi kapasitas terpasangnya diperkirakan 9 gigawatt peak (gWp) sampai 13 gWp.
”Survei pasar yang kami lakukan bersama GIZ (badan implementasi pemerintah Jerman), ada sekitar 500.000 rumah tangga di Jawa dan Bali yang paling siap untuk mengembangkan PLTS atap. Hanya saja, mereka masih butuh dukungan berupa informasi di mana mendapat panel surya, cara pemasangan, dan regulasi tentang PLTS atap,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, Kamis (1/11/2018), di Jakarta.
Oleh karena itu, kata Fabby, penerbitan draft Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS atap sangat dinantikan. Aturan tersebut, selain dapat merangsang tumbuhnya konsumen pengguna PLTS atap, sekaligus dapat merangsang tumbuhnya industri hilir penyedia komponen PLTS atap. Saat ini, sebagian besar komponen PLTS atap di Indonesia dipenuhi dari impor.
”Industri panel surya di Indonesia sifatnya masih perakitan dengan kapasitas terpasang sekitar 500 MW per tahun. Untuk dapat diproduksi dalam negeri dengan tercapainya skala keekonomian, produksi minimum yang dihasilkan 800-1.000 MW per tahun,” ujar Fabby.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan pada Kementerian ESDM Harris mengatakan, semangat pengembangan PLTS atap secara global cukup tinggi. Apalagi, ongkos teknologinya semakin lama semakin murah. Begitu pula tarif jual beli listrinya yang kian murah, bahkan bisa sampai 3 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh).
”Di India, yang pengembangannya cukup masif, harganya sudah bisa 3 sen (dollar AS per kWh). Bahkan, diperkirakan di masa mendatang akan turun menjadi 1 sen,” ujar Harris.
Menurut Harris, aturan mengenai PLTS atap sudah dibahas cukup lama. Hanya saja, ada beberapa hal yang masih perlu disepakati kembali. Hal yang masih butuh dibahas lebih lanjut adalah apakah sektor industri bisa dimasukkan sebagai konsumen yang dapat menjual tenaga listrik dari PLTS atap ke PLN atau tidak.
Dalam draf peraturan Menteri ESDM tentang PLTS atap disebutkan bahwa konsumen PLN yang berminat membangun dan memasang PLTS atap diharuskan mengajukan permohonan kepada PLN dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, serta kepada Direktur Jenderal Ketenagalistrikan pada Kementerian ESDM. Selain itu, kapasitas terpasang PLTS atap tidak boleh lebih dari 90 persen dari daya tersambung konsumen PLN dalam satuan watt.
Konsumen yang memasang PLTS atap dapat menjual tenaga listrik yang dihasilkan kepada PLN. Namun, pembahasan skema tentang jual beli tenaga listrik tersebut belum tuntas. Sektor industri dikecualikan atau tidak dimasukkan sebagai konsumen yang dapat menjualbelikan tenaga listrik dari PLTS atap tersebut.