JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan pangan mulai berpengaruh terhadap inflasi baik di kota maupun desa. Kenaikan harga bahan pangan itu diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga Maret 2019 sehingga berpotensi menggerus daya beli masyarakat.
Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu mengantisipasinya hingga Maret 2019 karena musim tanam pertama di daerah-daerah lumbung pangan diperkirakan mundur. Antisipasi itu tidak hanya di wilayah perkotaan, tetapi juga perdesaan, terutama di daerah-daerah yang mengalami penurunan nilai tukar petani (NTP).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Oktober 2018 terjadi inflasi di kota sebesar 0,28 persen dan di desa 0,35 persen. Penyebab inflasi itu itu adalah kenaikan harga pangan dan bakar minyak minyak (BBM) nonsubsidi.
Inflasi bahan makanan sebesar 0,15 persen dan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,04 persen. Di kota, bahan pangan yang menyumbang inflasi adalah cabai merah 0,08 persen, beras 0,01 persen, dan cabai rawit 0,01 persen. Sementara di desa, cabai merah dan beras menyumbang inflasi sebesar 0,14 persen dan 0,05 persen.
”Inflasi Oktober 2018 juga disebabkan kenaikan pertamax pada minggu kedua Oktober. Andil kenaikan harga BBM nonsubsidi itu terhadap inflasi sebesar 0,06 persen,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Secara umum, BPS mencatat, inflasi secara tahun kalender sebesar 2,22 persen dan secara tahunan 3,16 persen. Adapun tingkat inflasi komponen inti secara tahun kalender dan secara tahunan masing-masing sebesar 2,67 persen dan 2,94 persen.
Suhariyanto menilai, inflasi tersebut masih terkendali karena masih berada di bawah target inflasi pemerintah sebesar 3,5-4,5 persen. Kendati begitu, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mengendalikan inflasi hingga akhir tahun karena kebutuhan untuk Natal dan Tahun Baru pasti akan meningkat sesuai pola tahunan.
Daya beli
Di daerah-daerah lumbung pangan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, panenan mulai menipis. Hal itu menyebabkan harga GKP di petani sangat tinggi, di kisaran Rp 4.900-Rp 5.600 per kg. Di daerah-daerah tersebut, musim tanam pertama mundur satu bulan karena curah hujan masih minim.
Ketua Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak Hery Sugiartono mengemukakan, harga GKP di daerah Demak, Pati, Kudus, dan Grobogan sudah menembus Rp 5.600 per kg. Di tingkat penggilingan, harga beras sudah naik tiga kali dari Rp 8.700 per kg menjadi Rp 9.000 per kg.
”Tren kenaikan harga itu akan terus berlanjut hingga Maret tahun depan karena panenan menipis. Apalagi musim tanam mundur satu bulan sehingga akan semakin memperpanjang masa paceklik,” katanya.
BPS mencatat, rata-rata harga beras semua kualitas pada Oktober 2018 naik dibandingkan Oktober 2017. Harga beras kualitas premium naik 1,49 persen, medium 3,05 persen, dan rendah 4,08 persen. Hal itu terjadi karena harga GKP di tingkat petani dan penggilingan sama-sama naik 0,98 persen masing-masing menjadi Rp 4.937 per kg dan Rp 5.039 per kg.
Di tengah-tengah kenaikan harga bahan pangan, NTP petani justru turun 0,14 persen menjadi 103,02 persen pada Oktober 2018. Dari lima subsektor, tiga NTP subsektor turun, yaitu NTP tanaman perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan.
NTP tanaman perkebunan rakyat turun cukup besar, yaitu 1 persen menjadi 96,25 persen. Apabila NTP berada di bawah 100 persen, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun dan lebih kecil dari pengeluarannya.
Suhariyanto mengatakan, penurunan NTP tanaman perkebunan rakyat terjadi karena harga komoditas, seperti kakao dan minyak kelapa sawit mentah, di tingkat dunia masih fluktuatif. Adapun NTP tanaman pangan naik karena ada kenaikan harga gabah.
Indeks harga yang yang dibayar petani tanaman pangan yang mencerminkan konsumsi dan modal produksi petani naik 0,34 persen. Pengeluaran petani itu masih lebih rendah dari penerimaan atau indeks harga yang diterima petani yang sebesar 1,16 persen.
”Ke depan pemerintah perlu mengendalikan harga mulai dari tingkat produsen hingga konsumen agar petani dan konsumen sama-sama terlindungi dan terjaga daya belinya,” ujarnya.