Pencarian korban dan pesawat Lion Air JT-610 bernomor registrasi PK-LQP yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, banyak dibantu sukarelawan dari berbagai kelompok. Mereka menyisir dasar laut, permukaan, hingga udara. Datang untuk misi penyelamatan, mereka pun tak mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Salah satunya Tedy Firmansyah (23). Kamis (1/11/2018), ia sibuk mengecek alat selam di Pantai Tanjung Pakis, Karawang. Beberapa kali membantu mencari korban tenggelam, penyelam dari Pramuka Jawa Barat itu tak pernah menyepelekan pemeriksaan peralatan menyelam.
Berbagai peralatan menyelam, seperti tabung oksigen, masker, sepatu katak, snorkel, regulator, dan weight belt, ia periksa teliti. ”Relawan datang dengan misi penyelamatan. Jadi, aspek keselamatan tak boleh diabaikan,” ujarnya.
Tedy mencontohkan, saat menyelam, penyelam tidak sendiri, tetapi berdua atau lebih sehingga bisa saling mengawasi. Selain itu, saat menyelam, harus ada rekan yang berada di kapal. Tujuannya untuk mengawasi kondisi laut di sekitarnya dan dapat memberi tahu penyelam jika ada bahaya.
Sebelum menyelam, Tedy juga harus memperhitungkan cuaca di laut. Seperti gelombang, kecepatan angin, arus bawah laut. Setelah memastikan semua aman, baru ia menyelam ke titik pencarian.
Koordinasi sangat penting
Setiap menyelam, tim sukarelawan selalu berkoordinasi dengan personel Badan SAR Nasional (Basarnas). ”Koordinasi sangat penting. Dengan demikian, pencarian bisa lebih efektif dan tidak timpang tindih,” ucapnya.
Persiapan matang juga dilakukan tujuh penyelam dari Indonesian Diver Rescue Team. Sebelum menyelam, mereka mengumpulkan data lapangan di lokasi pencarian. Salah satunya memanfaatkan hasil survei bawah air dari Basarnas.
Instruktur Indonesian Diver Rescue Team, Hendratna Yuda, mengatakan, hasil survei menjadi bekal menyusun rencana penyelaman. Banyak hal yang harus diperhatikan, mulai dari berapa lama menyelam hingga perkiraan kedalaman yang ditempuh.
”Jika menyelam di kedalaman 30 meter, kegiatan di bawah air maksimal 15 menit. Keselamatan nomor satu. Kegiatan evakuasi harus di bawah satu komando, dalam hal ini Basarnas,” katanya.
Sukarelawan mandiri juga tak sembarangan hadir di Karawang. Budi Madjmoe, Ketua Potensi SAR Gurila Cirebon, mengatakan telah bergabung di pantai Tanjung Pakis sejak Senin (29/10). Bersama beberapa rekan dari Cirebon dan Karawang, mereka mengikuti seluruh kegiatan tim SAR, termasuk melaut dengan perahu karet.
Budi mengatakan, semua anggota timnya telah dibekali pengetahuan mengenai kebencanaan di air. Karena itu, mereka mudah menyesuaikan diri dengan pola kerja tim SAR.
Koordinasi dan mematuhi aturan sangat utama, bahkan bagi sukarelawan senior seperti Acep Rustandi (48), atlet paramotor nasional. Ia bersama komunitasnya terus berkoordinasi dengan tim SAR terkait izin terbang menyisir kawasan pantai.
Acep hanya akan terbang setelah mendapat kepastian aman mengudara. Sekitar 45 menit, dia terbang di ketinggian 75-110 meter sambil mengamati obyek-obyek di permukaan laut.
”Jika melihat obyek yang dicurigai, saya laporkan pada tim gabungan di laut. Dengan begitu mereka bisa menjangkaunya untuk memastikan,” ujarnya.
Bahu-membahu berbagai pihak itu membuahkan hasil. Kepala Kantor SAR Bandung Deden Ridwansyah mengatakan, selain serpihan pesawat, tim juga menemukan tanda-tanda keberadaan korban yang lain seperti pakaian dan dompet berisi kartu identitas.
Kerja keras para sukarelawan itu mungkin tak selalu membuahkan hasil ideal. Namun, kepedulian mereka terus memberi harapan bahwa misi kemanusiaan dengan segala persiapan ketat itu tidak pernah sia-sia.