Memulihkan Optimisme Penerbangan
”Secara statistik, terbang merupakan bentuk perjalanan modern yang paling aman.” (Diulang oleh Dominic Gates, ”The Seattle Times”, 18 Juni 2018)
Statistik ini lebih membesarkan hati jika kita mengacu pada kinerja penerbangan sipil dunia, termasuk Indonesia. Tahun 2017, menurut lembaga konsultan To70 dan Jaringan Keselamatan Penerbangan (ASN), menjadi tahun teraman dalam sejarah penerbangan sipil (BBC, 2/1/2018).
Menurut Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono, minimnya kecelakaan fatal di Indonesia pada 2017 tak lepas dari upaya berbagai pihak untuk meningkatkan standar keselamatan penerbangan.
Oleh sebab itu, terjadinya musibah Lion Air JT-610 pada Senin (29/10/2018) sangat memukul kinerja yang bagus. Orang kembali teringat statistik.
Indonesia tercatat sebagai negara dengan kecelakaan fatal penerbangan tertinggi di Asia (Kompas, 1/11/2018). ASN mencatat, dalam rentang 1945-2018 terjadi 99 kali kecelakaan fatal pesawat komersial di Indonesia dengan jumlah korban 2.224 jiwa.
Situasi ini harus dipulihkan. Musibah itu menurunkan kredibilitas, profesionalisme, dan kompetensi pengelolaan industri penerbangan sipil negara. Yang tercoreng tidak saja operator, tetapi juga regulator dan semua pemangku kepentingan.
Inilah saat yang tepat untuk kembali introspeksi, menemukan kembali ruh profesionalisme yang dipertanyakan masyarakat pengguna jasa penerbangan.
Belajar dari yang baik
Dari kinerja tahun 2017 ada kebaikan yang bisa dipetik. Ketua KNKT mengatakan, ada kelompok diskusi di antara maskapai penerbangan. Kementerian Perhubungan aktif melakukan pengecekan di lapangan, dan audit terhadap maskapai.
Pelatihan operasional juga dinilai sebagai penyumbang terbesar yang mendorong meningkatnya keselamatan penerbangan sipil, selain mengikuti standar prosedur yang berlaku.
Satu hal lain yang bisa disebut adalah pendirian pusat kajian untuk menelaah kecelakaan di masa lalu dan memetik pelajaran dari kejadian itu. ”Seperti Lion Air dan AirAsia, mereka mendirikan lesson center untuk mengingatkan semua pihak, terutama pilot,” ujar Soerjanto (BBC, 2/1/2018). Masalah teknis oke, tidak (ada) masalah.
Namun, penerbangan tak bergerak dalam situasi statis. Satu faktor yang menjadi unsur menonjol adalah upaya pabrikan untuk memasukkan inovasi teknologi mutakhir dalam pesawat terbang generasi terbaru.
Satu sisi, ada janji untuk membuat biaya operasi, khususnya konsumsi bahan bakar, lebih rendah, emisi lebih kecil (menuju penerbangan hijau), dan pengurangan beban pilot, karena simplifikasi kontrol penerbangan. Namun, di sisi lain, inovasi tidak jarang juga memunculkan problem tak terduga.
Baterai litium-ion sempat menangguhkan penerbangan jet mutakhir Boeing 787 Dreamliner. Kerusakan mesin turbofan raksasa GP7200 superjumbo Airbus A-380 Air France membuat penerbangan dari Paris ke Los Angeles dialihkan ke Kanada (AFP, The Guardian, 1/10/2017)
Terjadinya rentetan masalah pada tiga model mesin pesawat yang paling canggih, yakni Trent 1000 buatan Rolls-Royce yang banyak dipakai di pesawat Boeing 787 Dreamliner, GTF (Geared Turbofan) buatan Pratt & Whitney yang banyak digunakan jet Airbus A-320neo, lalu LEAP buatan CFM International yang dipakai pada semua Boeing 737 MAX, sempat merepotkan operasi maskapai pengguna dan menguras kantong pembuat.
Tetap optimistis
Di luar problem yang ada, penerbangan sipil masih terus menatap masa depan dengan optimistis. Melihat kesibukan bandara di Tanah Air, juga di luar negeri, kita diyakinkan, jumlah penumpang pesawat meningkat dari waktu ke waktu.
Jumlah penumpang lewat Bandara Soekarno-Hatta tahun 2017 menembus angka 63 juta orang. Tahun 2018 angka itu diproyeksikan jadi 70 juta orang, dan tahun 2025 mencapai 100 juta orang.
Hal ini juga dikuatkan oleh laju produksi pesawat yang terus meningkat. Boeing dan Airbus tak pernah memprediksi memproduksi banyak pesawat: 14 Boeing 787 per bulan, dan 60 unit lebih untuk jet Boeing 737 dan Airbus A-320 (Gates, ST).
Meningkatnya jumlah penumpang wajar diikuti oleh bertambahnya jumlah pesawat. Fenomena yang pertama mudah dilihat adalah kian sibuknya bandara. Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, meski ada Terminal 3, pesawat sering masih harus parkir di apron tanpa garbarata, dan saat akan lepas landas dan mendarat harus antre lama.
Di sini sempat ada pro-kontra peningkatan gerakan (naik-turun) pesawat. IATCA (Indonesia Air Traffic Controller Association) pernah protes, karena pesawat di Bandara Soekarno-Hatta mencapai 84 gerakan per jam.
Padahal, yang dinilai ideal sesuai Keputusan Menteri Perhubungan adalah 76 gerakan (Bandara Soekarno-Hatta.com). Saat landas pacu ketiga beroperasi, bisa lebih dari 120 gerakan per jam.
Selain pengelolaan bandara, bertambahnya jumlah penumpang juga membuat maskapai penerbangan kian sibuk. Selain menambah staf, pilot, dan awak kabin, manajemen harus kian canggih.
Direktur operasional dan direktur teknik maskapai pasti sosok yang paling bertanggung jawab atas operasi sehari-hari maskapai, mulai dari penyediaan dan mengatur jadwal pesawat, termasuk awak dan teknisinya.
Saat menambah pesawat, maskapai, khususnya pilot dan teknisi, berhadapan dengan teknologi baru. Ini yang pasti dihadapi oleh semua maskapai, termasuk Lion Air, yang dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan ekspansi fenomenal. Khususnya menyangkut pesawat baru, meski sama-sama Boeing 737, kita menyaksikan kemajuan signifikan pada teknologinya.
Ada perbedaan banyak antara seri -200, -400, -800 NG, dan terakhir MAX. Di antara berbagai komponen teknologi, yang paling sering ditonjolkan adalah pemakaian material dan rekayasa mesin yang menghasilkan efisiensi mesin dan peningkatan jelajah.
Untuk Boeing 737 MAX, selain pengenalan mesin LEAP, juga ada desain ujung sayap belah berbentuk pedang belah (scimitar). Sistem kendali yang lebih kompak dinilai lebih memudahkan pilot saat menerbangkan pesawat.
Namun, sejumlah pengamat penerbangan juga mengakui, teknologi dan desain pada pesawat baru tak selalu bersifat sekali jadi. Adakalanya, seperti pada mobil, ada yang perlu didesain ulang.
Seperti disinggung pengamat penerbangan Dudy Sudibyo, terkait pesawat baru, orang tidak bisa mengabaikan fenomena baby sickness. Problem bisa saja muncul dari sebab tak terduga.
Mengerjakan PR
Ada optimisme dan tantangan, yang penting semua pemangku kepentingan, regulator, operator, dan pabrikan terus mengerjakan pekerjaan rumah masing-masing. Bagi pabrikan, inovasi baru konsisten dimunculkan.
Operator merespons antusiasme penambahan jumlah penumpang dengan pengadaan armada baru. Namun, antusiasme bisnis ini juga harus diimbangi dengan profesionalisme. Keselamatan penumpang terus menjadi ultimate goal, sebisa mungkin dengan mengupayakan zero accident.
Regulator tak kalah krusial dalam mencapai tujuan keselamatan. Penerbangan adalah industri yang disoroti dunia. Regulator harus tegas tanpa kompromi dalam menegakkan aturan.
Sifat membina tetap, tetapi manakala ada operator yang tak kunjung belajar dari kesalahan, regulator tak boleh ragu untuk menindak. Dengan profesionalisme semua pihak itu, penerbangan Indonesia bisa dibanggakan.