Pesawat Baru, Mesin Baru, dan Masalah Tak Terduga
Kecelakaan penerbangan JT-610 Lion Air, Senin (29/10/2018), membuat mata dunia langsung menyorot pada Boeing 737 MAX, pesawat penumpang terbaru Boeing yang jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, itu. Berbagai tahap pengembangannya pun ditelusuri satu per satu.
Salah satu yang langsung mengemuka dalam beberapa hari terakhir adalah masalah yang sempat ditemukan pada mesin pesawat tersebut. Di antara berbagai kebaruan dalam Boeing 737 MAX dibandingkan generasi 737 sebelumnya yang paling menonjol adalah mesinnya yang baru, yakni CFM International LEAP-1B.
Ini adalah mesin turbofan buatan CFM International, perusahaan joint venture antara GE Aviation dari Amerika Serikat dan Safran Aircraft Engines (dulu Snecma) dari Perancis. CFM LEAP adalah generasi penerus dari mesin sebelumnya, CFM56, yang terbukti sukses dan dipakai berbagai pesawat penumpang populer, termasuk generasi Boeing 737 dan Airbus A320.
Berbagai varian CFM LEAP ini juga digunakan pada generasi terbaru pesawat-pesawat penumpang berselasar tunggal (single aisle) yang menjadi tulang punggung penerbangan jarak menengah saat ini, yakni Airbus A320neo (varian LEAP 1-A), Boeing 737 MAX (LEAP 1-B), dan Comac C919 (LEAP 1-C) buatan China.
Menurut laman b737.org.uk yang berisikan para pilot dan teknisi Boeing 737, mesin baru ini berukuran lebih besar dan lebih bertenaga dibandingkan mesin CFM56-7 yang terpasang pada generasi Boeing 737 Next Generation (NG, terdiri dari B737-800 dan B737-900ER). Diameternya bertambah dari 61 inci (155 sentimeter) menjadi 69,4 inci (176 cm) dengan materi bilah-bilah kipasnya kini terbuat dari anyaman serat karbon.
Desain kipas dan diameter yang lebih besar ini membuat bypass ratio mesin LEAP 1-B menjadi 9:1 dari sebelumnya hanya 5,1:1. Ini artinya peningkatan efisiensi bahan bakar dan penurunan kebisingan suara mesin.
Boeing mengklaim peningkatan efisiensi mesin baru ini mencapai 10-12 persen dibandingkan mesin lama dan kebisingan suara mesin ditekan hingga 40 persen. Suara mesin semakin rendah dengan penambahan chevron atau bentuk selubung mesin bergerigi di bagian belakang, seperti pada desain Boeing 787 Dreamliner.
Lebih berat
Namun, perubahan desain mesin ini membuat mesin berukuran lebih besar dan berat. Setiap mesin LEAP 1-B lebih berat 385 kilogram dibandingkan mesin CFM56-7.
Boeing pun melakukan berbagai perubahan pada struktur pesawat, mulai dari memperkuat struktur sayap, kerangka (fuselage), hingga pylon alias cantelan mesin di sayap dan menempatkan mesin lebih ke depan dari posisi mesin pada generasi 737 NG. Roda pendarat depan pun diperpanjang agar posisi pesawat dari tanah lebih tinggi, untuk memberi ruang mesin baru ini.
”Boeing juga menambah winglet ’berteknologi maju’, kokpit dengan layar display yang lebih besar, dan perubahan desain kerucut bagian ekor untuk mengurangi hambatan udara (drag) dan meningkatkan efisiensi bahan bakar, serta spoiler baru di bagian sayap yang dikendalikan secara digital,” ujar Jonathan Ostrower, pengamat penerbangan internasional yang dihubungi Kompas, Kamis (1/11/2018).
Selebihnya, terutama dalam hal sistem pengendalian, pesawat ini bisa dikatakan sama dengan model Boeing 737 sebelumnya. Menurut Ostrower, Boeing sengaja tak melakukan perubahan drastis pada sistem kontrol pesawat agar maskapai tak perlu mengeluarkan biaya terlalu besar untuk melatih pilot menerbangkan pesawat baru. Para pilot pun masih bisa menerbangkan pesawat lama.
”Karena 737 sangat populer di kalangan maskapai di seluruh dunia, mengintegrasikan 737 MAX adalah hal yang mudah. Saat Anda membangun armada 737 MAX, dana jutaan dollar bisa dihemat karena keserupaannya dengan 737 Next Generation, kemudahan perawatan, dan jumlah pilot 737 yang melimpah serta ketersediaan infrastruktur global yang mendukung operasional pesawat,” demikian pernyataan Boeing di laman resminya.
Lebih jauh lagi, Ostrower mengatakan, Boeing mempertahankan filosofinya dalam membuat pesawat, yakni memberi pilot keleluasaan untuk mengambil alih seluruh kendali pesawat saat dibutuhkan. Itu sebabnya hingga generasi 737 MAX ini Boeing belum menerapkan sistem fly by wire penuh.
”Tidak ada batas-batas keras terkait bagaimana pilot bisa menerbangkan pesawat, tidak seperti di pesawat-pesawat Airbus (yang sudah menerapkan sistem fly by wire),” tutur Ostrower, jurnalis penerbangan yang kini menjadi Pemimpin Redaksi The Air Current.
Proses pengembangan 737 MAX ini pun berjalan dengan mulus sejak program diluncurkan pada 2011 hingga uji terbang perdana tahun 2016. Namun, pertengahan tahun lalu, terungkap adanya masalah pada bagian mesin.
Masalah produksi
Pada Mei 2017, Boeing menghentikan seluruh uji terbang pesawat-pesawat 737 MAX karena ditemukannya masalah produksi salah satu bagian mesinnya. Saat itu hanya beberapa minggu sebelum Boeing menyerahkan 737 MAX pertama kepada Malindo Air, anak perusahaan Lion Air di Malaysia.
Wartawan penerbangan Dominic Gates menulis di surat kabar Seattle Times, 10 Mei 2017, bahwa Boeing menemukan beberapa bagian piringan logam di turbin tekanan rendah (LPT) mesin LEAP 1-B bisa retak karena masalah dalam proses pembuatannya.
Juru bicara CFM International, Jamie Jewell, yang dikutip Seattle Times, membenarkan bahwa para pemeriksa kualitas menemukan anomali pada proses penempaan logam dalam pembuatan piringan turbin ini. ”Jika dibiarkan, bisa berujung pada keretakan,” ujar Jewell.
Ostrower menambahkan, piringan metal yang bermasalah itu berasal dari salah satu pemasok komponen untuk CFM. Boeing pun kemudian mengirimkan kembali mesin-mesin LEAP 1-B yang terdeteksi menggunakan bagian bermasalah itu ke fasilitas produksi mesin CFM Internatinal di Lafayette, Indiana, AS, atau di Vilaroche, Perancis.
Baik pihak Boeing maupun CFM menyatakan, hingga saat itu tak ditemukan masalah pada sistem LPT dalam berbagai pengujian mesin yang sudah dilakukan.
Namun, bisakah masalah ini, jika dibiarkan, memicu masalah besar seperti kerusakan mesin? Sistem LPT pada mesin LEAP 1-B terdiri atas lima piringan kipas yang berada di bagian belakang mesin. Piringan ini digerakkan oleh aliran udara panas dan berenergi tinggi dari ruang bakar mesin dan menjadi sumber penggerak kipas besar di bagian depan mesin untuk propulsi pesawat.
Jika salah satu atau beberapa piringan ini retak dan kemudian pecah saat beroperasi, tentu akan muncul masalah besar, seperti matinya mesin. Walau demikian, Ostrower menepis kemungkinan hal ini bisa menyebabkan pilot kehilangan kendali pesawat.
”Harus diingat bahwa pesawat dirancang untuk bisa terbang aman hanya dengan satu mesin. Bahkan saat terjadi kegagalan besar pada salah satu mesin,” ujarnya.
Ostrower pun menyangsikan kecelakaan yang menimpa Boeing 737 MAX 8 PK-LQP milik Lion Air, Senin lalu, terkait dengan persoalan mesin ini. ”Seluruh mesin sudah menjalani pemeriksaan sebelum diserahkan (ke pembeli). Masalah (mesin MAX) waktu itu hanya ditemukan saat pemeriksaan proses manufaktur, bukan karena ada masalah atau insiden pada mesin,” katanya.
Ia juga mengaku sangat penasaran dengan penyebab jatuhnya PK-LQP dan ingin segera mengetahui perkembangan penyelidikan kotak hitam pesawat oleh tim penyelidik.