JAKARTA, KOMPAS - Peternak rakyat semakin kesulitan memperoleh keuntungan dalam berbisnis karena biaya produksi tidak setimpal dengan harga penjualan produk akhir. Salah satu penyebabnya adalah harga pakan ternak yang terus meninggi.
Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi dalam kunjungan Dewan Peternak Rakyat Nasional (Depernas) ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Jumat (2/11/2018), mengatakan, harga jagung di pasar berkisar 5.500-5.600 per kilogram. Sedangkan harga jual ternak jauh lebih rendah dari biaya produksi.
“Kami menjual daging ayam ke pasar saat ini sebesar Rp 17.000 per kilogram (kg). Padahal, biaya produksi yang adalah Rp 19.300 per kg,” tutur Sugeng. Depernas adalah perkumpulan asosiasi peternak rakyat di antaranya Himpuli, Gopan, Dewan Persusuan Nasional, dan Asosiasi Kambing Perah.
Tingginya harga pakan tidak hanya membuat peternak merugi. Peternak juga harus membeli vitamin tambahan untuk menjaga kualitas ternak. Dengan demikian, produktivitas secara perlahan ikut menurun akibat hal tersebut.
Dalam bisnis peternakan unggas, jagung merupakan pakan pokok ternak yang paling bergizi. Harga pakan yang tidak bersahabat membuat peternak kerap mencampurkan jagung dengan beberapa jenis pakan lainnya sebagai strategi penghematan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Leopold Halim menambahkan, dampak negatif tingginya harga pakan tidak hanya dirasakan peternak yang menjual daging. Peternak yang menjual telur juga merasakan hal yang sama.
“Harga telur yang kami jual ke pasar hanya Rp 17.000 per kg. Biaya produksi masih lebih di atas, yaitu Rp 19.000 per kg,” kata Leopold. Ia meyakini, peternak akan lebih sejahtera ketika harga jual jagung lebih rendah dan stabil, seperti Rp 3.500 per kg.
Leopold melanjutkan, harga yang tinggi masih bisa ditoleransi jika jagung berasal dari petani lokal. Namun, pemerintah ternyata masih mengimpor jagung.
Ketua Harian Gopan Sigit Prabowo berharap, pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, dapat segera menangani permasalahan yang dihadapi para peternak mandiri.
Ternak sapi
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Rochadi Tawaf menambahkan, tidak hanya unggas, peternakan sapi dan kerbau Indonesia juga masih sulit untuk berkembang.
Investasi yang dilakukan pemerintah saat ini dinilai hanya berorientasi pada pengembangan korporasi besar. “Apabila tidak ada proteksi, peternak rakyat akan semakin terpinggirkan,” kata Rochadi.
Pemerintah, ujarnya, terlalu berorientasi untuk menekan inflasi. Oleh karena itu, impor daging terus terjadi.
Sedangkan pada kenyataannya, kebijakan mengimpor daging pun masih menjadi pertanyaan bagi para peternak lokal akibat sikap pemerintah yang tidak konsisten.
Contohnya adalah kebijakan melarang penggunaan hormon pertumbuhan yang tertera dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sedangkan daging impor dari sejumlah negara diketahui menggunakan hormon itu.