JAKARTA, KOMPAS--Perbaikan iklim investasi, termasuk kemudahan berusaha, harus dilakukan pada sistem, bukan sekadar tataran prosedur. Tanpa reformasi sistem yang konsisten dan berkelanjutan, target Indonesia, yakni di peringkat 40 dalam Kemudahan Berusaha pada 2020 sulit tercapai.
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, skor Indonesia naik dari 66,54 pada 2018 menjadi 67,96. Namun, peringkat Indonesia turun dari 72 pada tahun lalu menjadi 73 pada tahun ini. Skor ini dihitung berdasarkan 10 hal atau urusan di Jakarta dan Surabaya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan mereformasi kebijakan kemudahan berusaha secara mendasar, bukan sekadar mengutak-atik prosedur.
Laporan Bank Dunia menunjukkan, mayoritas negara melakukan reformasi yang signifikan sehingga peringkat mereka naik drastis, seperti China yang naik 32 level menjadi peringkat 46 dan India naik 23 level ke peringkat 77. “Mereka mengubah proses bisnis secara mendasar, bukan lagi (kecepatan) dari dua minggu menjadi satu minggu. Tanpa perombakan mendasar, Indonesia pasti kalah dari negara lain,” kata Darmin dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Darmin berpendapat, salah satu reformasi kemudahan berusaha yang sedang dilakukan pemerintah adalah sistem perizinan terintegrasi berbasis daring (OSS). OSS yang diluncurkan pada Juli 2018 ditargetkan optimal mulai Desember 2018. Sejak 2015, Indonesia melakukan 23 reformasi di delapan area.
Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, dalam tiga tahun terakhir, pemerintah lebih fokus pada perbaikan prosedur, bukan sistem. Perbaikan itu, misalnya, waktu pengurusan usaha yang dipersingkat atau biaya yang lebih murah. Reformasi pada tataran sistem harus segera dilakukan jika ingin mencapai target peringkat 40 dalam Kemudahan Berusaha.
“Sistem diperbaiki secara keseluruhan, mulai dari pola kerja, penilaian, dan prestasi dititikberatkan pada prosedur, bukan hanya hasil akhir,” katanya.
Analis Bank Dunia, Erick Tjong, dalam telekonferensi dari kantor Bank Dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, mengatakan, ada banyak aspek dan tingkatan yang mesti diperbarui pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha di Indonesia. Hal yang mesti diperbarui itu, misalnya, mempercepat izin mendirikan bangunan yang saat ini memerlukan waktu 6 bulan atau diatas rata-rata regional yang hanya 2,5 bulan. Hal itu menyebabkan ongkos produksi perusahaan membengkak.
“Biaya yang harus dikeluarkan pengusaha bisa dua kali lipat dibandingkan rata-rata regional,” kata Erick.
Dalam satu tahun terakhir, Indonesia merealisasikan 3 agenda reformasi kemudahan usaha dalam urusan memulai usaha, akses kredit, dan pendaftaran properti. Realisasi agenda reformasi di Indonesia masih lebih rendah dari China (7 reformasi), Malaysia (6 agenda), dan Thailand (4 agenda). Sementara, Brunei Darussalam, Filipina, dan Papua Niugini masing-masing 3 agenda.
Keluhan
Keluhan soal ketidakpastian dalam berusaha masih muncul dari daerah. Hal ini antara lain terungkap dalam Seminar Nasional bertema Mengintegrasikan Pembangunan Infrastruktur dalam Konsep Pengembangan Kawasan Industri Modern.
Dalam sesi tanya jawab antara Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Ketua Himpunan Kawasan Industri Kepulauan Riau Fredy Wibowo menyampaikan, harga gas naik 30 persen, yang baru diputuskan tiga hari lalu. Hal ini, kata Fredy, selain menyangkut ketidakpastian, juga berdampak bagi industri.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia Sanny Iskandar berpendapat, jangan terlalu cepat puas dan hanya melihat kondisi perbaikan di dalam negeri. "Harus selalu diingat, di tengah kompetisi yang semakin ketat, negara lain berlomba memperbaiki diri seoptimal mungkin untuk menarik investor memulai bisnis di negara mereka," ujar Sanny. (KRN/CAS)