Seksualitas Manusia Modern
Seiring dengan tren keluarga di seluruh dunia yang mengarah ke bentuk keluarga kecil, hasrat seksual manusia modern pun cenderung menurun. Seks yang semula berfungsi untuk kesenangan dan reproduksi kini justru dianggap beban. Kini, sejumlah negara berjuang keras melawan kondisi itu demi menjaga keberlangsungan ekonomi dan keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa.
Turunnya hasrat seksual manusia modern itu terjadi di sejumlah negara maju. Di Amerika Serikat, frekuensi hubungan seksual warganya mencapai 5,2 kali sebulan pada akhir 1990-an dan turun menjadi 4,4 kali sebulan pada 2010.
Di Inggris pun serupa, dari 6,3 kali sebulan pada 2000 menjadi 5 kali sebulan pada 2013. Demikian pula di Australia, dari 7,2 kali sebulan pada 2004 menjadi 5,6 kali per bulan pada 2014.
Situasi di Jepang lebih mengkhawatirkan. Sebanyak 47,2 persen pasangan yang menikah tidak melakukan hubungan seksual sama sekali minimal selama satu bulan pada 2017. Persentase itu meningkat 15,3 poin dibandingkan pada 2004. Situasi tersebut terjadi bersamaan dengan makin turunnya ketertarikan anak muda Jepang untuk berhubungan seks serta melonjaknya penduduk lansia.
Meski di Indonesia belum ada data pasti yang menunjukkan penurunan frekuensi hubungan suami-istri, dugaan itu sudah muncul akibat turunnya fertilitas masyarakat seiring dengan penurunan penggunaan kontrasepsi modern. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional sedang menyiapkan studi untuk melihat hal itu.
Kesenangan
Antropolog jender, seksualitas, dan kesehatan di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana, di Jakarta, Senin (29/10/2018), mengatakan, sebelum revolusi industri, masyarakat masih menganggap seks sebagai kesenangan, bagian dari hidup sehari-hari. Situasi itu setidaknya terlihat dari Kamasutra yang ditulis di India antara abad ke-4 sebelum Masehi dan abad ke-2 Masehi hingga relief di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah, yang dibangun pada abad ke-15.
”Selain berfungsi sebagai kesenangan, seks di masa praindustri juga tak bisa dilepaskan dari fungsi reproduksi,” lanjutnya.
Saat masyarakat modern berkembang, setelah revolusi industri, masyarakat pun memisahkan antara fungsi seks untuk kesenangan dan reproduksi. Berkembangnya teknologi kontrasepsi membuat orang makin tidak khawatir bahwa hubungan seksual akan memicu kehamilan. Saat inilah, hubungan seksual lebih dimaknai sebagai sarana rekreasi.
Namun, masyarakat modern juga mencoba memandang hubungan seksual sebagai sains. Muncullah berbagai pengetahuan untuk mewujudkan hubungan seksual yang ”berkualitas”. Akibatnya, hubungan suami-istri menjadi sesuatu yang terukur. Ukuran-ukuran tentang hubungan seks yang berkualitas dan kepuasan seksual itu justru menimbulkan tekanan dan stres hingga hasrat seksual pun menurun.
Namun, masyarakat modern juga mencoba memandang hubungan seksual sebagai sains. Muncullah berbagai pengetahuan untuk mewujudkan hubungan seksual yang ”berkualitas”.
”Seks menjadi hal teknis belaka dan lupa dengan kesenangannya,” katanya.
Namun, diakui, masyarakat modern memiliki beban lebih besar yang memengaruhi kepuasan seksual. Beban pekerjaan, tekanan kehidupan, mobilitas yang tinggi, dan kelelahan fisik membuat hasrat seksual masyarakat ikut terpengaruh. Bahkan, situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya turut memengaruhi keinginan dan kepuasan masyarakat untuk berhubungan seksual.
Meski demikian, tidak mudah memang mencari penyebab pasti turunnya hasrat seksual manusia modern. Padahal, sejatinya, manusia adalah makhluk seksual. Laki-laki atau perempuan sama-sama memiliki dorongan seksual, membutuhkan hubungan seksual dan menginginkan kepuasan seksual (Kompas, 12 Juni 2018).
Teknologi
Salah satu yang sering dituding sebagai penyebab turunnya aktivitas seksual masyarakat adalah perkembangan teknologi, khususnya internet, media sosial, dan pornografi. Pornografi dianggap memberikan citra palsu tentang seks dan memberikan berbagai dampak lain, mulai dari kecanduan, disfungsi seksual, hingga anoreksia seksual.
Salah satu yang sering dituding sebagai penyebab turunnya aktivitas seksual masyarakat adalah perkembangan teknologi, khususnya internet, media sosial, dan pornografi.
Bahkan, studi Michael Malcolm dan George S Nuafal dalam ”Are Pornography and Marriage Substitutes for Young Men?” di Eastern Economic Journal, November 2016, menunjukkan, pornografi juga berdampak terhadap pernikahan. Tingginya penggunaan internet berkorelasi positif dengan makin rendahnya kepuasan seksual dan tingkat pernikahan yang rendah.
Namun, dampak internet dan pornografi pada kehidupan seksual masih jadi perdebatan. Pada dasarnya, pornografi adalah hiburan orang dewasa yang bisa meningkatkan kualitas hubungan seksual. Studi Nicole Prause dan James G Pfaus dalam ”Viewing Sexual Stimuli Associated with Greater Sexual Responsiveness, Not Erectile Dysfunction” di jurnal Sexual Medicine, April 2015, menunjukkan bahwa menonton film porno dua kali seminggu masing-masing selama 40 menit bisa meningkatkan gairah seksual.
Riset lain pun menunjukkan hal yang sama, penurunan aktivitas seksual tidak ada korelasinya dengan seberapa sering menonton pornografi. Namun, pornografi yang sampai memengaruhi kehidupan seksual menandakan penikmatnya mengalami kecanduan seks di internet.
Sementara itu, gawai juga dituding menjadi penyebab turunnya hasrat seksual karena mampu mengalihkan gairah seksual sebagian orang yang sangat terobsesi dengan layar monitor. Dampak gawai itu sebenarnya merupakan perpanjangan dari studi sebelumnya yang menunjukkan peletakan televisi di kamar tidur akan memengaruhi aktivitas seksual.
Gawai juga dituding jadi penyebab turunnya hasrat seksual karena mampu mengalihkan gairah seksual sebagian orang yang sangat terobsesi dengan layar monitor.
Oleh karena itu, para dokter ahli tidur telah lama mengingatkan dampak gawai. Bukan hanya mengganggu kehidupan seksual, gawai juga memengaruhi kualitas tidur. ”Fungsi ranjang hanya dua, untuk tidur dan berhubungan seksual,” kata dokter di Klinik Tidur Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Lanny S Tanudjaja, seperti dikutip dari Kompas, 11 Oktober 2016.
Beban hidup
Meski teknologi berdampak pada kehidupan seksual masyarakat, dia bukan penyebab tunggal. Masyarakat modern juga terbelenggu beban kerja. Meski pengaturan jam kerja makin baik, kelelahan dan stres kerja tetap terbawa hingga di luar jam kerja sehingga menurunkan aktivitas seksual mereka.
Namun, alasan kelelahan dan stres kerja juga tidak sesederhana itu. Studi JS Hyde, JD DeLamater, dan EC Hewitt dalam ”Sexuality and Dual-earner Couple: Multiple Roles and Sexual Functioning” di Journal of Family Psychology, September 1998, menunjukkan tidak ada perbedaan aktivitas, kepuasan, dan keinginan seksual antara perempuan yang jadi ibu rumah atau perempuan yang bekerja.
Dugaan beban kerja yang menjadi penyebab turunnya hasrat seksual itu juga berbeda dengan studi JM Twenge dkk dalam ”Changes in American Adults’ Sexual Behavior and Attitudes, 1972-2012” yang dipublikasikan di Archives of Sexual Behavior, November 2015, yang menunjukkan beban kerja yang tinggi justru berkorelasi dengan frekuensi seksual yang tinggi.
Namun, studi itu bukan berarti beban kerja tidak memengaruhi kehidupan seksual karena kualitas pekerjaan lebih penting dari kuantitasnya. Pekerjaan yang buruk atau memberi banyak tekanan bisa memperburuk kesehatan mental seseorang dibanding mereka yang menganggur. Situasi ini meluas ke kehidupan seksual mereka.
Stres memang sering dipandang sebagai penentu turunnya aktivitas dan kepuasan seksual. Guy Bodenmenn dkk dalam ”The Association Between Daily Stress and Sexual Activity” di Journal of Family Psychology, Juni 2010, menemukan makin tinggi stres, makin rendah aktivitas dan kepuasan seksual. Stres mengubah produksi sejumlah hormon hingga membentuk citra negatif pada tubuh dan membuat kita mempertanyakan hubungan dengan pasangan.
Stres mengubah produksi sejumlah hormon hingga membentuk citra negatif pada tubuh dan membuat kita mempertanyakan hubungan dengan pasangan.
Persoalan kesehatan mental, khususnya cemas dan depresi, menjadi masalah di negara-negara maju selama beberapa dekade terakhir. Evan Atlantis dan Thomas Sullivan dalam ”Bidirectional Association Between Depression and Sexual Dysfunction” di Journal of Sexual Medicine, 2012, menemukan bukti signifikan bahwa depresi menyebabkan pengurangan hasrat seksual dan meningkatkan risiko disfungsi seksual.
Kebahagiaan
Beban kesehatan mental itulah yang diyakini menurunkan kebahagiaan masyarakat dan otomatis menurunkan frekuensi hubungan seksual. Epidemi kesehatan mental itu terkait dengan sifat kehidupan modern yang penuh tantangan. Persoalan keamanan, politik, ekonomi, hingga situasi sosial bisa memengaruhi gairah seksual masyarakat.
Studi Irwan di Jepara, Jawa Tengah, pada 2015 menunjukkan, kaum ibu lebih puas berhubungan suami-istri saat mereka tidak lagi memikirkan persoalan ekonomi. Namun, saat pendapatan suami berkurang, kebutuhan ekonomi terus meningkat, hingga jeratan utang, hal itu membuat hasrat melakukan hubungan suami-istri berkurang. ”Hanya sekadar menjalankan kewajiban saja,” lanjutnya.
Perpaduan antara teknologi, beban kerja, ketidakamanan, dan tekanan hidup yang dialami manusia modern membuat mereka makin sulit membangkitkan hasrat seksualnya. Turunnya hasrat seksual itu dianggap sebagai puncak dari ketidakbahagiaan manusia modern. Ujungnya, cita-cita membangun masyarakat yang sejahtera pun sulit tercapai.
Turunnya hasrat seksual itu dianggap sebagai puncak dari ketidakbahagiaan manusia modern.
Beberapa kelompok masyarakat mungkin senang dengan menurunnya frekuensi hubungan seksual masyarakat sebagai bentuk penolakan atas makin longgarnya nilai-nilai seksualitas. Namun, seks itu penting, menyenangkan. Seks membuat manusia lebih sehat sehingga meningkatkan kepuasan di tempat kerja. Ujungnya, seks bisa meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Afirmasi
Penting dan besarnya manfaat hubungan seksual terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat itu membuat banyak ahli di dunia mencari cara untuk menahan terus turunnya hasrat seksual. Sejumlah negara dan pemerintah kota juga membuat kebijakan afirmatif demi mendorong warganya mau menikah, berhubungan suami-istri, dan mempunyai anak.
Anggota dewan kota Övertorneå, sebuah kota kecil di lingkar Arktik di utara Swedia, Per-Erik Muskos, pada Februari 2017 membuat proposal subsidi seks bagi 550 pegawai kota itu. Subsidi tersebut, seperti dikutip dari The New York Times, 23 Februari 2017, diberikan dengan memberikan 1 jam waktu kerja setiap minggu agar mereka pulang dan melakukan hubungan seks dengan pasangannya.
Proposal tersebut diajukan dengan harapan penduduk kota itu yang saat ini sekitar 4.500 jiwa terus bertambah. Selain itu, upaya tersebut diharapkan akan meningkatkan romantisisme pernikahan yang kian menua, memperbaiki moral pekerja, hingga mendapatkan manfaat kesehatan dan kesejahteraan pekerja.
Namun, pada Mei 2017, seperti dikutip dari BBC, 16 Mei 2017, dewan kota menolak usulan itu karena hubungan seks adalah urusan privat warga yang tidak perlu dicampuri pemerintah. Bahkan. Usulan tersebut bisa mempermalukan orang-orang yang tidak punya pasangan, tidak ingin berhubungan seksual, atau memiliki batasan medis yang menghalangi mereka berhubungan seksual.
Meski demikian, usulan ini juga mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan di tengah pergulatan negara-negara Eropa menyeimbangkan antara kehidupan modern dan kualitas hidup yang lebih baik. Negara-negara di Benua Biru juga sedang berupaya keras meningkatkan tingkat fertilitas penduduknya untuk mengimbangi makin banyaknya penduduk tua, kurangnya penduduk usia produktif, dan serbuan imigran.
Negara-negara di Benua biru juga sedang berupaya keras meningkatkan tingkat fertilitas penduduknya untuk mengimbangi makin banyaknya penduduk tua, kurangnya penduduk usia produktif, dan serbuan imigran.
Di luar penolakan ide itu, Swedia adalah negara yang telah memberikan banyak ”kemewahan” bagi orangtua yang memiliki anak. Fasilitas tersebut antara lain 480 hari cuti melahirkan dan merawat bayi bagi ibu dan ayah, jaminan kesehatan universal yang baik, pendidikan gratis untuk anak umur 6-19 tahun, hingga makan siang gratis di sekolah bagi siswa. Namun, berbagai fasilitas itu nyatanya tidak cukup mendorong warga Swedia berlomba memiliki anak.
Jepang pun sedang berusaha keras meningkatkan kelahiran yang sudah rendah selama lebih dari setengah abad. Situasi itu terjadi beriringan dengan melonjaknya jumlah penduduk lansia yang akan membebani ekonomi, makin rendahnya tingkat pernikahan, dan terus memburuknya pandangan anak muda tentang seksualitas.
Berbagai kebijakan afirmasi untuk mendorong masyarakat berhubungan seksual dan memiliki keturunan banyak didorong, mulai dari bantuan pembiayaan tunai bagi keluarga yang memiliki anak hingga mendorong perusahaan memberikan waktu lebih banyak bagi karyawannya untuk rekreasi dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Banyak negara lain juga memiliki kebijakan serupa untuk mendorong warganya memiliki anak, termasuk Australia, Korea Selatan, dan negara-negara Skandinavia lainnya.
Dari banyak kebijakan afirmasi itu, Simon Copland dalam ”The Many Reasons That People are Having Less Sex” di BBC, 9 Mei 2017, menilai kebijakan itu hanya bersifat bantuan. Tambahan waktu libur atau insentif pemerintah hanya memberikan manfaat jangka pendek yang sebenarnya tidak sesuai dengan masalah struktural di balik turunnya hasrat seksual masyarakat, yaitu terus berkurangnya kebahagiaan masyarakat.
Turunnya frekuensi hubungan seksual yang ujungnya menurunkan tingkat fertilitas itu merupakan masalah kompleks. Karena itu, menanggulanginya pun butuh solusi dari berbagai aspek, mulai dari keamanan, kestabilan ekonomi, hingga mengembalikan ruang-ruang komunal dan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi.
Semua upaya itu memiliki satu tujuan, membuat manusia modern makin bahagia dan sejahtera sehingga akan mengembalikan hasrat seksual mereka.