Agamawan dan Budayawan Sepakat Ciptakan Perubahan Signifikan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Menyikapi munculnya disrupsi agama, sejumlah agamawan dan budayawan sepakat menciptakan perubahan signifikan di semua dimensi. Mereka yakin, masyarakat sebagai pemilik sah keberadaan dan kedaulatan Indonesia mampu menjawab semua persoalan dan tantangan yang ada, termasuk disrupsi agama.
Kesepakatan ini muncul setelah beberapa agamawan dan budayawan menggelar Sarasehan Agamawan dan Budayawan dengan tema “Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia” sejak 2-3 November 2018 di Bantul, Yogyakarta.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selaku penyelenggara sarasehan ini mengatakan, agar perubahan signifikan terjadi, maka kalangan agamawan dan budayawan harus memahami dan mampu mengatasi disrupsi yang terjadi dalam dirinya sendiri. Sebab, disrupsi agama berpotensi mengganggu bahkan merusak bukan saja iman (keyakinan) umatnya, tapi juga hubungan idealnya dengan kenyataan sosial serta kultural lokal di mana ia berada.
Dalam sarasehan, para agamawan dan budayawan memahami bagaimana munculnya permasalahan bersama bahwa era disrupsi tidak hanya terjadi pada bidang teknologi, tetapi juga pada tafsir agama. Terjadinya konflik antara ekspresi agama dengan kebudayaan merupakan cerminan disrupsi dalam hal pemahaman keagamaan.
“Penghayatan serta pengamalan praktik-praktik keagamaan di seluruh sudut negeri ini terbukti dalam sejarah panjang terintegrasi secara positif, konstruktif, dan produktif dengan praktik-praktik kebudayaan di setiap satuan etnik yang dimiliki bangsa Indonesia,” kata Lukman, Sabtu (3/11/2018) saat menyampaikan pernyataan bersama agamawan dan budayawan di akhir sarasehan.
Langkah perubahan bisa dilakukan salah satunya melalui pendidikan, baik umum maupun agama, formal maupun non-formal. Upaya ini bisa dilakukan dengan memposisikan kembali orang tua sebagai pengajar awal dalam proses pembelajaran anak dan mengedepankan pengajaran akhlak melalui pelbagai produk-produk kebudayaan, seperti sastra, teater, tari, seni rupa, juga adat istiadat.
Perubahan juga bisa dilakukan dengan memperbaiki dan mengembangkan bahasa agama dan budaya yang mampu menghindarkan dirinya dari diksi, semantika, atau retorika yang jumud, intoleran, terlalu berpihak, atau teologi yang bertentangan dengan kenyataan aktualitas, fakta, serta sejarah bangsa. “Pendidikan kita juga mesti mengatasi secara keras dan tegas mental rendah diri para anak didik dengan contoh-contoh faktual tentang kenyataan-kenyataan keunggulan manusia Indonesia beserta produk-produk kulturalnya,” kata dia.
Selain itu, pendidikan kita juga mesti menanamkan pemahaman dan praktik hidup sedalam-dalamnya bahwa agama (dengan segala pemahaman dan ibadahnya) bukanlah berarti segalanya, dalam arti manusia sudah selesai hanya dengan agama dan menafikan dimensi-dimensi hidup lainnya yang sesungguhnya setara peran dan fungsinya yang konstitutif.
Nilai-nilai luhur
Seluruh agamawan dan budayawan yang terlibat dalam sarasehan ini juga mengajak seluruh masyarakat agar tetap dilandasi dengan sikap-sikap penuh keutamaan yang telah dipraktikkan oleh para leluhur bangsa. Sikap-sikap itu meliputi: kejujuran, kesabaran, ungkapan syukur, kesetaraan, kebinekaan, gotong royong, disiplin dan tanggungjawab, mandiri, saling mengasihi, santun, menerima haknya bukan sebaliknya, mengedepankan “laku”, dan penuh keterbukaan.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, dalam konteks ini, pemerintah semestinya tidak hanya berperan dalam memelihara, melayani atau memfasilitasi saja, tapi semestinya juga menjadi inisiator dari perubahan-perubahan di semua level dimensinya, termasuk misalnya menciptakan sebuah narasi yang dapat dan menjadi pijakan bersama (common ground) mulai dari soal siapa, dari mana bermula, hingga akan kemana bangsa Indonesia. Terakhir, para agamawan dan budayawan juga mendorong agar praktik kehidupan beragama melahirkan iman yang membuahkan kesalehan spiritual dan sosial.
“Bahasa pemufakatan ini akan dibumikan melalui diseminasi sosial yang dilakukan oleh pihak-pihak lain yang akan kami ajak kerjasama. Para artis akan membahasakan dengan caranya sendiri, kaum milenial dengan caranya sendiri, dan para akademisi dengan caranya sendiri. Kami akan keliling ke daerah-daerah dan Menteri Agama akan mendorong kementerian lain untuk mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan ini,” ujar Radhar.
Sebelum memaparkan hasil kesepakatan bersama, para agamawan dan budayawan masing-masing menandatangani hasil Pemufakatan Yogyakarta tersebut. Kesepakatan ditandatangani Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan sejumlah agamawan serta budayawan, seperti Bikku Pannyavaro, Putu Setia, Acep Zamzam Noor, Nasirun, Ridwan Saidi, Wisnu Bawa Tenaya, Agus Noor, Alisa Wahid, Aloys Budi Purnomo, Amin Abdullah, dan beberapa tokoh lainnya.