Belajar dari Kisah Pendahulu
Kartosoewirjo, Muhammad Yamin, dan Amir Sjarifudin merupakan beberapa figur yang turut serta memekikkan persatuan saat Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Namun, pasca-kemerdekaan, ketiganya beserta sejumlah peserta kongres lain justru menempuh jalan berbeda.
Perbukitan, lembah, dan hutan lebat yang menutupinya, di sekeliling Antralina, menjadi saksi bisu saat konflik sesama anak bangsa pecah, hanya akibat berbeda pandangan.
Di sekitar Antralina, sebuah kampung di Desa Buniasih, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, atau berjarak 34 kilometer dari Tasikmalaya, 25 Januari 1949, pertempuran pecah antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo.
Pertempuran pertama kedua pasukan yang memaksa Marta Darjo (73) bersama penduduk setempat lainnya harus hidup menderita di pengungsian hingga hampir 13 tahun lamanya atau hingga perang saudara tersebut berakhir.
”Kami ini hanya korban. Tidak tahu mengapa perang bisa terjadi. Yang kami tahu perang itu telah membuat penduduk susah, harus mengungsi,” kenang Marta, warga Antralina yang saat konflik terjadi masih berusia empat tahun.
Holk H Dengel dalam Darul Islam-NII dan Kartosuwiryo, Angan-angan yang Gagal, menuliskan perang bersaudara tersebut telah mengakibatkan kerusakan tidak hanya di Antralina, tetapi di banyak daerah lain di Jabar. Korban meninggal dan luka akibat perang pun mencapai puluhan ribu jiwa.
Padahal, jika kembali ke dua dekade sebelum konflik pecah, Kartosoewirjo merupakan bagian dari kelompok pemuda yang memekikkan Ikrar Sumpah Pemuda di Kongres Pemuda II. Dia hadir di kongres sebagai perwakilan tokoh-tokoh Islam sekaligus bagian dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB).
Ikrar yang menjadi tonggak penting perjuangan bangsa untuk lepas dari penjajahan Belanda. Sebab, dari sana kemudian lahir keinginan untuk bersatu di atas perbedaan suku, agama, dan ras yang sebelum 1928 menjadi tembok pemersatu.
Ironis pula karena Kartosoewirjo sebenarnya memiliki kedekatan dengan proklamator sekaligus Presiden Soekarno. Di SM Kartosoewirjo dalam Kancah Gerakan Nasionalisme Indonesia yang disusun Al Chaidar, Kartosoewirjo disebut sering berdiskusi dengan Soekarno. Mereka kian dekat saat bersama-sama membentuk organisasi pemuda, Jawa Hokokai, tahun 1942.
Kartosoewirjo baru memilih jalan berbeda setelah Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda, 17 Januari 1948.
Indonesia yang kala itu berada di bawah tekanan Belanda tidak ada pilihan lain untuk menerima perjanjian Renville yang membuat wilayah Indonesia tinggal tersisa Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Pasukan TNI, khususnya di Jabar dan Jawa Timur, pun harus digeser ke wilayah Indonesia.
Namun, Kartosoewirjo tidak terima. Dia dan pasukannya memilih tetap di Jabar untuk melawan Belanda saat TNI hijrah ke Jawa Tengah. Hanya saja, niat itu kemudian dikembangkan untuk membangun gerakan DI/TII sebagai bagian dari pemenuhan ambisinya, mendirikan Negara Islam Indonesia. Dengan ketiadaan TNI di Jabar, dia pun leluasa memuluskan ambisinya.
Kemudian ketika TNI kembali masuk ke Jabar sebagai balasan atas serangan Belanda yang menjatuhkan pemerintahan di Yogyakarta, akhir 1948, TNI justru dihadapkan pada musuh baru, yaitu DI/TII. Pertempuran kedua pasukan pun tak terelakkan.
Singkat cerita, TNI yang kala itu harus berperang melawan Belanda terbelah fokusnya untuk memerangi pemberontak DI/TII. Begitu pula pemerintah yang masih dipusingkan dengan agresi Belanda harus terbelah fokusnya untuk menangani ambisi Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Jadilah pekik ”satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa”, yang turut disuarakan oleh Kartosoewirjo, 28 Oktober 1928, seketika lenyap tergantikan oleh ambisinya.
Tokoh lain
Tidak hanya Kartosoewirjo, tokoh Sumpah Pemuda lain, Amir Sjarifudin, pun melupakan semangat persatuan tahun 1928.
Tiga tahun setelah kemerdekaan, dia justru terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Solo dan Madiun. Padahal, situasinya kala itu pun, pemerintah dan TNI masih berada dalam tekanan dari agresi Belanda.
Dalam Perdana Menteri RI Amir Sjarifoeddin karya Frederiek Djara Wellem disebutkan, sikap Amir yang berseberangan dengan pemerintah dimulai saat dirinya diberhentikan sebagai perdana menteri oleh Soekarno. Soekarno memberhentikannya karena Amir dinilai telah gagal memperjuangkan kepentingan Indonesia di Perjanjian Renville.
Amir lantas mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menjadi oposisi pemerintah. FDR itu pula yang kemudian menjadi cikal bakal dari pemberontakan PKI di Solo dan Madiun.
Selain itu, ada pula Muhammad Yamin. Dia memilih jalan radikal dengan turut serta dalam upaya kudeta yang gagal, 3 Juli 1946. Upaya kudeta dipicu kekecewaan terhadap kinerja Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946-2 Oktober 1946) yang dinilai terlalu akomodatif terhadap keinginan Belanda.
Di luar Kartosoewirjo, Amir, dan Yamin, staf Edukasi Museum Sumpah Pemuda Bakhti, Ari Budiansyah, mencatat masih banyak tokoh Sumpah Pemuda lain yang memilih jalan berbeda setelah kemerdekaan. ”Setidaknya ada sepuluh orang,” katanya.
Di antaranya, Assaat Datuk Mudo dan Sutan Mohammad Rasjid. Keduanya merupakan tokoh pemuda dari Jong Sumatranen Bond yang juga ikut di Kongres Pemuda II. Saat Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, keduanya menentangnya, dan kemudian ambil bagian dalam pemberontakan yang digerakkan oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat.
Kepentingan sesaat
Sejarawan dari Yayasan Bung Karno, Rushdy Hoesein, melihat, Sumpah Pemuda sebenarnya telah meletakkan landasan dalam mengobarkan semangat persatuan. Namun, setelah kemerdekaan, para pemuda kerap kali terjebak dalam kepentingan sesaat sehingga komitmen untuk bersatu itu lenyap begitu saja.
”Inilah sebenarnya kelemahan bangsa kita. Politik hanya didasarkan pada kepentingan sesaat. Tujuannya macam-macam, bisa hanya untuk memenuhi ambisi pribadi, kelompok atau ada misi-misi baru yang lebih menguntungkan mereka,” ujar Rushdy.
Yang terjadi pada para pendahulu itu seharusnya menjadi pelajaran berharga dalam perjalanan bangsa ke depan. Apalagi dalam konteks kekinian saat bangsa seperti terbelah dalam urusan dukung-mendukung di Pemilu Presiden 2019.
Guru Besar Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris menilai, elite politik sebenarnya memiliki andil besar dalam merawat persatuan. Terlebih jika mereka bisa menjadi teladan dan bukan justru menjadi aktor yang mengeksploitasi perbedaan demi kepentingan pemenangan pemilu.
”Jangan terjebak dalam mobilisasi politik untuk kepentingan pemilu, apalagi berbasiskan suku, agama, ras, dan antargolongan. Sebab, kalau elite sudah terperangkap dalam fenomena itu, otomatis di bawahnya akan ikut dan itu sulit untuk dipulihkan atau dirasionalkan kembali,” katanya.
Sardjono, putra bungsu dari Kartosoewirjo, turut mengingatkan agar para elite negeri tak mengulang sejarah kelam yang ditorehkan ayahnya. Agar sejarah itu tak terulang, dia menekankan pentingnya komunikasi dan musyawarah dalam mencari solusi atas setiap permasalahan bangsa yang muncul.
”Kita harus belajar banyak dari para pendahulu bangsa. Selesaikan perbedaan tak harus dengan konflik. Negara ini yang harusnya dilindungi, bukan kepentingan individu. Bangsa akan kalah terus kalau kita tidak bersatu,” tutur Sardjono.
Jaga persahabatan
Terlepas dari para pendahulu yang memilih jalan pemberontakan ketika perbedaan pandangan muncul dan menguat, sejarah turut mencatat pula tokoh-tokoh bangsa yang tetap bersahabat sekalipun berbeda pandangan politik.
Kita ingat misalnya, kisah persahabatan antara Soekarno dan Hatta. Meski sama-sama berjuang melawan Belanda dan menjadi dwi tunggal yang memproklamasikan kemerdekaan, keduanya kerap berbeda pandangan soal politik. Bahkan, dalam melihat demokrasi, tidak pernah ada titik temunya.
Puncaknya, mundurnya Mohammad Hatta dari posisi wakil presiden, tahun 1956. Kemudian kritikan yang tak pernah surut dari Hatta terhadap Soekarno saat sudah berada di luar pemerintahan.
Namun, di balik perbedaan itu, keduanya tetap menjaga persahabatan. Saat putra Bung Karno, Guntur Soekarnoputra, hendak menikah tahun 1970, tetapi Bung Karno tak bisa mendampinginya karena rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menjadikannya sebagai tahanan rumah, Bung Hatta dipilih menjadi wali nikah Guntur atas saran Bung Karno. Bung Hatta pun tidak menolak permintaan tersebut.
Tak hanya itu, dua hari menjelang wafatnya Bung Karno atau saat dia masih dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Bung Hatta masih menjenguknya.
Kita juga ingat kisah persahabatan Soekarno dan tokoh Masyumi, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka, yang dimulai sejak Buya mengunjungi Soekarno saat diasingkan Belanda di Bengkulu, tahun 1941. Persahabatan ini menjadi renggang ketika Soekarno menjebloskannya ke penjara atas tuduhan subversif dan mengancam keamanan negara, tahun 1964.
Namun, ketika Bung Karno wafat dan utusan keluarga Bung Karno meminta Buya menjadi imam shalat jenazahnya sesuai wasiat dari Bung Karno, Buya tidak menolaknya.
Akhirnya, persatuan merupakan sebuah keniscayaan saat banyak persoalan masih dihadapi oleh bangsa. Persoalan yang akan sulit diatasi jika kita bergerak sendiri-sendiri, dalam kelompok-kelompok, apalagi sibuk berselisih, bahkan bermusuhan hanya karena berbeda pandangan politik.