Jerman Perdalam Hubungan dengan Asia Pasifik
Sebagai sebuah wilayah dengan tingkat pertumbuhan di atas rata-rata dunia dan didukung oleh stabilitas dan keamanan, Asia Pasifik tak ubahnya madu. Manisnya memikat, membuat berbagai kekuatan ekonomi dunia datang mendekat.
Di tengah ketidakpastian perekonomian global, Jerman semakin serius memperdalam hubungan dengan kawasan Asia Pasifik. Strategi yang digunakan adalah dengan menawarkan kerja sama ekonomi melalui teknologi, digital, dan infrastruktur.
Dalam Asia Pacific Conference of German Business (APK) 2018 yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang Jerman (AHK) di Jakarta selama 1-3 November 2018, beberapa topik yang dibahas di antaranya penerapan industri 4.0 dalam sektor manufaktur, keamanan siber, pembiayaan infrastruktur, dan kecerdasan buatan.
Ketua Komite Bisnis Asia Pasifik Jerman (APA) Hubert Lienhard, Sabtu (3/11/2018), dalam wawancara eksklusif, mengatakan, Jerman dan Uni Eropa ingin meningkatkan konektivitas dengan kawasan Asia Pasifik. ”Kami menawarkan kerangka kerja sama yang terbuka sehingga semua pihak bisa berpartisipasi,” katanya.
Sehari sebelumnya, Menteri Federal Jerman untuk Urusan Ekonomi dan Energi Peter Altmaier menekankan, kerja sama ekonomi antarkawasan perlu dijalin melalui sistem perdagangan yang terbuka, bebas, dan adil agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi global. Sistem tersebut juga harus berbasis aturan.
”Ini karena, baik negara besar atau kecil, kita adalah bagian dari dunia sehingga harus menghormati kebutuhan negara lain,” ujar Altmaier.
Jerman dan Uni Eropa melihat potensi besar Asia Pasifik di bidang ekonomi. Berdasarkan data yang diolah Germany Trade and Invest (GTAI), sebuah badan pembangunan ekonomi Jerman, Asia Pasifik memiliki 34 persen dari produk domestik bruto (PDB) global. Kontribusi pertumbuhan ekonomi global kawasan ini mencapai 62 persen.
Sementara itu, nilai ekspor dari Jerman ke kawasan tersebut mencapai 188 miliar dollar AS. Negara yang berkontribusi besar dalam perekonomian Asia Pasifik adalah China, India, Jepang, Korea Selatan, dan ASEAN.
Lienhard meyakini, salah satu aspek kerja sama yang perlu didorong adalah di bidang infrastruktur. ”Eurasian connectivity dapat melengkapi proyek infrastruktur Asia,” ujarnya.
Konektivitas Eurasia adalah strategi untuk menghubungkan Eropa Timur dengan Asia Tengah. Upaya ini diinisiasi oleh UE dan didukung oleh The European Investment Bank.
Lienhard, mengutip Bank Pembangunan Asia menyebutkan, negara berkembang di Asia membutuhkan 1.500 miliar dollar AS untuk membangun infrastruktur. Konektivitas Eurasia dinyatakan akan dilakukan secara terbuka dan transparan melalui lelang tender sehingga semua pihak dapat berpartisipasi.
Bersaing
Proses tender dinyatakan berbeda dengan yang diterapkan China dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan atau dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI) yang akan menghubungkan China dengan Eropa, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika.
Seperti diketahui, Presiden China Xi Jinping mengusulkan BRI pada tahun 2013 dengan nilai investasi mencapai lebih dari 1 triliun dollar AS. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun pelabuhan, rel kereta, bandara, dan infrastruktur pendukung lainnya.
BRI dilihat sebagai proyek ambisius China. Beberapa pihak bahkan menuding BRI merupakan upaya China untuk melakukan konspirasi. Xi telah membantah tudingan tersebut berulang kali dalam berbagai kesempatan.
Lienhard mengatakan, China mengajak Jerman sebagai partner BRI, tetapi ditolak karena ketidakjelasan proyek tersebut. Tender proyek kerap diberikan kepada perusahaan asal China.
Kepentingan
Pejabat senior dari Kementerian Luar Negeri Jerman, Walter J Lindner, mengakui, Jerman memiliki kepentingan dengan kawasan Asia Pasifik secara politik dan ekonomi. Perdagangan yang terbuka akan menjaga perekonomian negara tersebut yang berorientasi terhadap ekspor.
”Kami dulu adalah juara sebagai eksportir tingkat dunia. Sekarang, kami menduduki posisi kedua atau ketiga,” tuturnya.
Jerman tidak menentang inisiatif BRI dari China. Namun, proses tender yang tidak transparan membuat Jerman kuatir dengan potensi perangkap utang, pengawasan, dan ketergantungan terhadap China.
ASEAN
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Siswo Pramono mengatakan, negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia, menyambut baik setiap tawaran kerja sama ekonomi dari setiap negara.
Namun, setiap tawaran proyek infrastruktur harus mengacu kepada dengan Master Plan for ASEAN Connectivity (MPAC). ”ASEAN telah menyusun rencana induk terkait konektivitas untuk kawasan regional,” kata Siswo.
Rencana tersebut telah memperhitungkan dengan saksama potensi ekonomi yang akan diperoleh jika infrastruktur tersebut dibangun di negara itu.
Direktur Pelaksana AHK Indonesia Jan H Rӧnnfeld mengatakan, Indonesia harus cermat memilih jenis investasi yang ditawarkan oleh pihak asing. Investasi yang baik akan menawarkan transfer pengetahuan dan teknologi agar perusahaan lokal berdaya. (REUTERS)