Kegawatdaruratan Vivi
Hal tak terduga dalam hidup membawa Dyah G Savitri Wirahadikusumah menapaki karier yang tak pernah jadi mimpinya. Dokter gigi nan lincah di lapangan ini kini justru banyak berkecimpung dalam pembangunan sistem pelayanan kesehatan darurat. Dari tangannya lahir perusahaan layanan kesehatan darurat yang juga menjadi pusat pelatihan berstandar internasional untuk keadaan gawat darurat.
Sempat mencicipi pengalaman kerja di bidang emergency dan humanitarian WHO, Vivi mendirikan Medic One Indonesia, sebuah layanan emergency medical services (EMS) pertama di Indonesia yang mengacu pada protokol 911 di Amerika Serikat sejak 2008. Lulusan Master of Public Health dari George Washington University ini juga sempat magang di Bank Dunia dan turut mengurus vaksin hingga ke salah satu negara di Benua Afrika.
Semuanya bermula ketika sang ayah Letjen (TNI) Agus Wirahadikusumah MPA meninggal dunia pada usia 49 tahun. Kematian mendadak mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat itu menumbuhkan pertanyaan besar dalam diri Vivi. ”Dengan posisi dia di TNI dengan banyaknya orang di rumah, kok, enggak ketolong. Enggak ada safety net di rumah. Makanya, saya pulang punya mimpi. Kok, di Indonesia enggak ada safety net?” ujar Vivi.
Vivi menyebut kita tidak memiliki layanan telepon darurat seperti 911, ambulan datang tak tepat waktu, dan bekal pertolongan pertama belum menjadi sebuah kesadaran untuk dipelajari. Pada perjalanan menuju rumah sakit, pasien juga tidak memperoleh layanan pra-hospital sehingga stabilisasi baru dilakukan ketika sudah tiba di rumah sakit.
”Ini sistem yang bolong di Indonesia. Bagi RS, investasinya besar dan kejadian darurat tidak terjadi setiap hari. Kematian ayah menumbuhkan passion untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan darurat,” tutur Vivi.
Selamatkan nyawa
Tugas utama Medic One dengan 40 tim medis ini adalah menstabilkan kondisi pasien sebelum tiba di rumah sakit rujukan. Sebagai perusahaan swasta, Medic One yang buka 24 jam dalam sehari memfokuskan layanannya bagi perusahaan ataupun individu yang tergabung sebagai anggota. Medic One juga menyediakan motor dan ambulans yang masing-masing memiliki peralatan medis darurat berstandar internasional.
Membangun EMS atau layanan kesehatan darurat di Indonesia ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Pemerintah memang membuat layanan
EMS lewat 118, tetapi belum berjalan dengan baik. Berkiblat layanan kondisi darurat di luar negeri seperti 911 yang memang dikelola oleh perusahaan swasta dan terbagi dalam banyak zona kawasan, Medic One akhirnya lahir dan memilih terfokus di Jakarta.
Membidani perusahaan swasta pertama yang menjadi versi Indonesia dari 911, Vivi sering kali berbenturan dengan birokrasi. Pada saat mengurus izin, otoritas terkait pun kebingungan mengategorikan perusahaan Vivi. Mereka memiliki ambulans, tetapi bukan rumah sakit atau klinik. ”Masih muda, oke gampang nih. Namun, setelah saya jalanin ternyata enggak gampang. Sesuatu yang benar-benar baru. Banyak hal yang kita propose dan berjuang sendiri sampai akhirnya jalan pelan-pelan,” kata Vivi.
Tantangan lain muncul ketika Medic One butuh emergency medical technician (EMT) atau paramedis yang bekerja menstabilkan kondisi pasien sebelum tiba di RS. Kala itu, ternyata Indonesia tidak memiliki EMT dan hanya mengenal profesi dokter dan perawat. Memegang beberapa lisensi internasional, seperti dari American Heart Association, Medic One lantas melatih perawat menjadi EMT paramedis.
Seiring waktu, kehadiran Medic One terbukti mengambil peran besar dalam menyelamatkan nyawa pada kondisi darurat. Kini semakin banyak perusahaan yang memercayakan keselamatan kerja pada Medic One. ”Kalau datang ke klien, harus menjelaskan kalau kita EMS company. Kalau di luar negeri, orang pasti tahu. Agak susah karena enggak ada referensi. Sama kayak apa? Enggak terlalu frustrasi,” ujarnya.
Klien Medic One, seperti BCA, misalnya, tak hanya melengkapi kantornya dengan peralatan pertolongan pertama seperti alat kejut jantung, tetapi juga memercayakan pelatihan pertolongan pertama bagi karyawannya kepada Medic One. Bank lainnya, seperti Maybank, memberikan fasilitas akses ke Medic One untuk pertolongan kegawatdaruratan kepada nasabah prioritasnya.
Medic One pun hadir di tempat umum, seperti pusat perbelanjaan Senayan City. Kasus kecelakaan ternyata kerap terjadi di mal, seperti anak yang panas tinggi lalu kejang ketika midnight sale hingga pembunuhan dan overdosis. Lain lagi kasus-kasus kegawatdaruratan di klien seperti Fitness First. Sering kali, kaum perempuan yang diet ketat lalu olahraga keras tiba-tiba pingsan karena gula darah drop.
Tanggap bencana
Mengikuti protokol 911, jalur telepon Medic One terbagi menjadi hot call yang membahayakan jiwa dan cold call yang hanya membutuhkan panduan pertolongan pertama. Banyak pelanggan Medic One yang adalah sekolah-sekolah sering kali memakai jalur cold call ini ketika ada murid mengalami kecelakaan di sekolah. ”Kalau ada perdarahan di tangan angkat di atas jantung supaya darah enggak makin ngucur. Ikat angkat. Keilmuan itu sangat umum, tetapi enggak semua tahu. Bagaimana pun kita second aider. Datang kalau dipanggil orang,” kata Vivi.
Terbiasa dengan layanan kegawatdaruratan, Vivi pun selalu ringan tangan turut terlibat menolong dalam beragam kejadian bencana. Bersama tiga sahabatnya sejak SMA, Didiet Maulana, Tri Clay, dan Dewi Dee Lestari, Vivi juga mendirikan Sahabat Peduli Indonesia yang lebih fokus pada bantuan untuk pembangunan WASH Facilities (Water-Sanitation-Hygiene) di daerah bencana, seperti daerah terdampak letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, gempa di Nepal, gempa Lombok, dan gempa di Palu.
Sejak masih kuliah public health di Amerika Serikat, Vivi memang sudah bercita-cita pulang ke Indonesia dan membangun daerah terpencil sesuai keilmuannya. Kuliah dengan fasilitas minim dan harus jalan kaki ke mana-mana membentuk Vivi menjadi pribadi yang tangguh. Kejujuran juga menjadi nilai yang ditanamkan di keluarga besarnya.
”Dulu ayah saya bilang kamu capek-capek sekolah di luar bakal balik ke sini enggak? Kalau enggak balik percuma. Negara kita masih berkembang. Ngapain di sana. Syaratnya harus pulang. Ayah saya keras. Ngerasa beruntungnya sekarang. Tahu proses, enggak tergantung ama orang,” ungkap Vivi yang juga cucu kemenakan dari Umar Wirahadikusumah ini.
Vivi juga menginisiasi pembangunan Balai Pelatihan dan Perpustakaan ”Uloang Daad Nuhu Evav” untuk memperbaiki literasi sekaligus meningkatkan keterampilan warga Pulau Kei Kecil di Maluku. ”Basic-nya karena senang. If you have passion you don’t complain. Kesel masalah banyak, tetapi kayak maju terus,” kata Vivi.
Drg Dyah G Savitri Wirahadikusumah MPH
Tempat, Tanggal lahir: Jember, 14 Juli 1975
Pengalaman Profesional:
- Pendiri, Managing Direktur, dan Koordinator International Training Center Medic One Indonesia (2008-sekarang)
- Pendiri Sahabat Peduli Indonesia (2017-sekarang)
- Pemilik dan dokter gigi di Dentalink Dental Clinic, Cibubur (2003-sekarang)
- Pemilik dan dokter gigi di Poligigi Rumah Sakit Meilia, Cibubur (2006-sekarang)
- Manajer Operasional di Medikaloka Health Care Primary Care Clinic, Jakarta (2006-2007)
- Dokter gigi di Garuda Sentra Medika, Jakarta (2003-2006)
- Public Health Officer di World Health Organization, Department Risk Management and Humanitarian Response (ERM), Jakarta (2002-2003)
Pendidikan:
- Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) dan Dokter Gigi (DRG) di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti (1993-1999)
- Master Public Health di School of Public Health and Health Services, The George Washington University, Washington DC, AS (1999-2001)