Megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek menjanjikan sumber penghidupan. Kawasan ini menawarkan kemudahan hidup bagi sekitar 30 juta warga. Karena daya tarik ini, puluhan ribu pendatang mengadu nasib ke Jabodetabek mencari pekerjaan setiap tahun.
Hal ini menjadi alasan sebagian besar warga datang dan memutuskan tinggal di Jabodetabek, seperti diungkapkan sepertiga responden jajak pendapat Kompas, akhir Oktober lalu. Kehadiran mereka ke Jakarta dan sekitarnya diikuti anggota keluarga yang kemudian memutuskan tinggal bersama perantau dari daerah.
Namun, di tengah perjuangan mendapatkan kehidupan lebih baik, warga dihadapkan pada persoalan kemacetan lalu lintas, kriminalitas, banjir, hingga pencemaran. Persoalan itu membuat sebagian warga tidak betah. Sekitar 40 persen responden ingin pindah jika ada kesempatan.
Jumlah ini menjelaskan bahwa sebagian warga megapolitan tidak menikmati hidup sebagai kaum urban. Ibu Kota dan sekitarnya seolah hanya menjadi kawasan yang nyaman untuk bekerja, tetapi tidak untuk hidup.
Sebagian besar (34 persen) warga yang ingin pindah berasal dari responden yang tinggal selama 11-20 tahun. Bisa jadi mereka pendatang yang belum mencicipi manisnya tinggal di Jabodetak dan merasakan ketidaknyamanan tinggal di kawasan ini.
Jika dihadapkan pada pilihan, mereka masih memilih kawasan Bodetabek (32 persen) sebagai daerah tujuan pindah. Mereka mempertimbangkan ketersediaan hunian, kenyamanan, dan kemudahan akses ke Jakarta. Sementara 31 persen responden memilih pindah ke luar Jabodetabek. Kota Bandung dan Yogyakarta menjadi primadona yang dipilih dengan alasan yang beragam.
Alasan warga
Keinginan sebagian warga pindah dari Jakarta dan sekitarnya cukup beralasan. Survei Kota Layak Huni dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia 2017 lalu menobatkan Jakarta pada urutan kedua terbawah di level tengah (average tier city) bersama delapan kota lain. Nilai terendah pada transportasi, keamanan, fasilitas pejalan kaki, serta informasi pembangunan dan pemberdayaan warga.
Kajian lembaga riset Zipjet yang berbasis di beberapa kota Eropa juga menempatkan Jakarta pada ranking 18 teratas kota paling stres dari 150 kota dunia yang disurvei. Salah satu penyebab utama, menurut 60 persen responden, karena kemacetan lalu lintas.
Meski demikian, masih ada separuh lebih responden yang mengaku betah tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Ada kecenderungan mereka yang bertahan di wilayah ini karena mereka sudah lebih dari 30 tahun tinggal di sana. Begitu juga dengan 27 persen responden yang memilih bertahan karena lahir di Jakarta dan sekitarnya. Faktor lain yang membuat mereka bertahan karena ikut keluarga (18 persen responden).
Keputusan bertahan hidup di Jakarta dan sekitarnya harus diiringi dengan kemampuan beradaptasi dengan segala persoalan kota.