Rock yang Santun
Jika konser musik rock kerap diasosiasikan sesuatu yang liar, meledak-ledak, dan cenderung lepas kontrol, pada acara festival musik Jogjarockarta stigma itu bisa jadi tidak benar. Pergelaran musik cadas di Kota Yogyakarta, Sabtu 27 Oktober 2018, itu justru memperlihatkan sisi lain dari musik cadas tersebut, yaitu rock yang santun.
Pukul 23.15 para penonton meninggalkan Stadion Kridosono, tempat berlangsungnya Jogjarockkarta. Debu tanah stadion yang terbang saat para penonton berjalan kaki menciptakan efek sapuan asap putih yang tersorot lampu stadion. Sebelumnya, para penonton telah mencurahkan energi mereka untuk menikmati penampilan salah satu dewa musik thrash metal dunia asal Amerika, yaitu Megadeth. Band asal California tersebut selama 1 jam 20 menit telah menaikkan ”suhu” di dalam Stadion Kridosono dalam derajat tertinggi pada malam itu.
Megadeth dengan personel Dave Mustaine (vokal/gitar), David Ellefson (bas), Kiko Loureiro (gitar), dan Dirk Verbeuren (drum) menyajikan apa yang selalu mereka tunjukkan, yaitu kolektivitas bermain, kecepatan, dan kesempurnaan di panggung. Megadeth memberikan pengalaman indera penglihatan dan indera pendengaran bagi penonton. Ibarat chef di restoran berbintang tiga michelin, Megadeth sukses meracik hidangan penutup yang nikmat, mewah, dan layak dikenang.
Ribuan penonton yang mengisi separuh lebih kapasitas stadion Kridosono malam itu tidak hanya menjadi saksi kepiawaian Dave menjadi dirigen Megadeth, tetapi juga melihat sisi personal Dave yang mulai berubah. Sepanjang kariernya sebagai musisi, Dave distigmakan sebagai sosok yang tertutup, tengil, dan angkuh. Di luar karya-karya musiknya yang brilian, dia mempunyai masalah komunikasi dengan orang lain.
Megadeth telah beberapa kali menggelar konser di Indonesia dan dalam lawatan mereka selalu terselip cerita yang kurang mengenakkan. Sebagai contoh, saat menjelang sesi wawancara, para jurnalis disarankan untuk tidak bertanya kondisi keluarga Dave Mustaine yang terdampak peristiwa kebakaran hutan di California kala itu. Promotor hanya mengantisipasi jika pertanyaan tersebut mungkin bisa membuat Dave marah. Pada kesempatan lain, saat tampil di panggung Dave tiba-tiba menghentikan permainan dan bertanya ke penonton apakah ada yang salah dengan musik Megadeth karena dia melihat penonton yang hanya diam.
Suasana yang berbeda terlihat saat Megadeth tampil di Jogjarockarta. Saat intro lagu ”A Tout Le Monde” berjalan beberapa detik, Dave Mustaine justru memandu penonton yang sepertinya sudah tidak sabar untuk menyanyikan bait pertama. ”Tunggu, tunggu, tunggu… nah mari kita mulai...,” ujar Dave.
Dave malam itu tampil sebagai anak yang baik. Setelah membuka tiga lagu awal, Dave menyapa para penggemarnya dengan kalimat yang santai dan tidak kaku. Dia berkata Megadeth merasa senang bisa tampil di Jogjarockarta. Menutup pembicaraan, Dave mengucapkan terima kasih dengan pelan dan lembut, sebanyak tiga kali. Saat jeda menjelang akhir konser, Dave mengapresiasi salah satu band lain yang tampil sebelum Megadeth. Dalam sesi malam, ada tiga band yang tampil, yaitu Seringai, ILP (Indra Lesmana Project), dan God Bless. ”Saya tidak bisa mengingat nama bandnya, tetapi mereka main keren sekali. Selamat!” ujar Dave yang jelas tidak sedang berbasa-basi.
Tidak hanya santun di panggung, Dave juga memperlihatkan sikap ramah di luar panggung. Saat menyambut kedatangan Megadeth di hotel, CEO Rajawali Indonesia Communication Anas Syahrul Alimi, yang menjadi promotor Jogjarockarta, dibuat kaget dengan sikap sempurna Dave Mustaine saat menerima kalungan bunga. ”Dia sangat ramah, bahkan dia yang memeluk saya duluan,” tambah Anas.
Saat muncul gagasan untuk penggalangan dana untuk korban gempa di Palu dan Donggala. Dave langsung bersemangat menyumbangkan dua buah gitar seri Dean Guitar V Dave Mustaine series yang ditandatangani semua personel Megadeth untuk dilelang.
Rock lintas generasi
Jika Megadeth menjadi bungkus kado yang indah untuk Jogjarockarta, maka isi dari Jogjarockarta adalah sebuah sajian yang komplet dari para musisi rock Indonesia. Dari siang hingga menjelang tengah malam, para penonton menikmati musik rock dari musisi lintas generasi. Di sektor senior ada God Bless, grup yang selalu tampil dalam dua edisi Jogjarockarta, Edane, dan Elpamas. Sementara generasi penerus diwakili Blackout, Sangkakala, Koil, Seringai, dan ILP.
Ibarat sebuah film, Jogjarockarta menyajikan jalan cerita dengan emosi yang berliku. Diawali dengan grup Blackout, level musik dinaikkan melalui Koil dan Sangkakala. Elpamas yang tampil dengan rock balada lumayan mendinginkan suasana sebelum Edane tampil dengan gas pol menutup sesi pertama. Selepas senja, Seringai tampil memompa semangat penonton, sementara ILP dan God Bless memberikan sedikit napas bagi penonton sebelum menyambut Megadeth. Plot ini terbukti sukses. Sebagian besar penonton tidak meninggalkan panggung konser. ”Penonton Jogjarockarta asyik dan tertib. Kami menikmati main di sini. Tampil membawakan lagu-lagu rock era tahun 90-an sangat menyenangkan” ujar Eet Syahranie, gitaris Edane.
Sangkakala, band dari Yogyakarta, sukses mencuri perhatian di Jogjarockarta. Mereka tampil dengan konsep yang direncanakan dengan rapi dan teliti. Masing-masing personel menciptakan karakter pribadi di atas panggung. Vokalis Baron Kaputer Araruna tampil dengan potongan rambut ala gondes (gondrong ndeso) dan jaket kulit tanpa lengan motif macan tutul, kacamata pebalap warna pelangi. Penampilannya meriah dan mencuri perhatian. Sang basis, Rudi Atjeh, tampil dan bergaya seperti Flea dari Red Hot Chili Peppers.
”Semua kami rencanakan, mulai dari riset karakter penonton, konsep festival, hingga ke bentuk penampilan di panggung. Semua sama persis bentuknya, durasinya, ketika latihan dan saat di panggung” jelas vokalis yang juga berprofesi sebagai seniman dengan nama asli Hendra Priyadhani.
Penampilan maksimal Sangkakala di panggung tidak hanya mendapatkan apresiasi dari penonton, tetapi juga dari para musisi yang menonton dari belakang panggung. Saat turun dari panggung, Baron mendapatkan tepukan di punggung dari Baruna, vokalis Elpamas. ”Keren, keren!” kata Baruna sambil mengacungkan jempol.
Jika Sangkakala menjadi cerah surya di siang hari, bintang pijar di malam hari menjadi milik ILP. Melalui ILP, penonton Jogjarockarta menikmati sajian rock yang megah dan indah. ILP dibentuk oleh Indra Lesmana melalui audisi secara daring. Meski Indra Lesmana lebih dekat dengan musik jazz, kegemarannya mendengarkan musik rock progresif dari Yes, ELP, dan Genesis menantang Indra untuk membuat proyek musik rock bersama musisi-musisi muda. Di atas panggung, Indra Lesmana tampil menemani ”adik-adiknya” mengeksplorasi musik rock hingga tak berbatas. Para penonton terdiam, menyimak para personel ILP memainkan alat musik mereka.
Jogjarockarta yang telah digelar dua kali menjadi barometer baru festival musik rock di Indonesia. Setelah mendatangkan Dream Theater (progresif metal) dan kemudian Megadeth (thrash metal), mungkin perlu dihadirkan musisi rock dengan genre yang berbeda di tahun mendatang. Radiohead mungkin?