JAKARTA, KOMPAS — Rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jumat pekan lalu, memutuskan impor jagung 100.000 ton hingga akhir tahun 2018 untuk memenuhi kebutuhan peternak unggas. Perum Bulog ditunjuk sebagai pelaksananya.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (4/11/2018), Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan, batas maksimal volume impor jagung pakan itu sudah memenuhi kebutuhan peternak di sejumlah sentra. Secara nasional, rata-rata kebutuhan jagung pakan 210.000 ton per bulan.
Selain itu, volume impor mempertimbangkan panen raya pada awal tahun. ”Impor ini hanya bersifat jaga-jaga dan maksimal 100.000 ton. Angka ini merupakan titik keseimbangan antara peternak dan petani jagung. Kami tidak ingin harga di tingkat petani anjlok saat panen raya,” kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumarjo Gatot Irianto.
Menurut Gatot, keputusan impor ini tidak berkaitan dengan swasembada. Produksi jagung selalu ada, tetapi tidak merata sepanjang tahun. Selain itu, sentra produksi jagung di Sulawesi lebih mudah mengekspor jagung dibandingkan mengirimkan ke Jawa.
”Biaya ekspor lebih murah dibandingkan pengiriman ke Pulau Jawa. Saat ini ekspor jagung sudah lebih dari 300.000 ton menurut data Badan Pusat Statistik,” ujarnya.
Tata kelola distribusi dinilai menjadi akar masalah jagung pakan. Oleh sebab itu, impor menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan jagung peternak di Pulau Jawa dengan harga terjangkau.
Ketua Satuan Tugas Pangan Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, berdasarkan pengamatannya sampai akhir Oktober 2018, ada panen jagung di luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat.
”Namun, ketika jagung pakan itu dikirim ke Pulau Jawa, biaya logistiknya mencapai Rp 1.000 per kilogram. Oleh sebab itu, ketika mencapai Pulau Jawa, harganya dapat melebihi Rp 5.300 per kilogram,” ujarnya saat dihubungi, Minggu.
Evaluasi
Terkait distribusi jagung, menurut Gatot, kementerian koordinator yang semestinya menjadi inisiator, bukan Kementerian Pertanian. Pemerintah daerah juga perlu menyiapkan gudang penampung stok penyangga saat panen raya.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Sola, pengembangan jagung seharusnya telah mempertimbangkan jaringan agrobisnis hulu-hilir. ”Sebelum wilayah pengembangan jagung direalisasikan, seharusnya sudah ada jaminan penyerapan dari industri pakan atau peternakan di sekitarnya. Jaringan seperti ini dapat mencegah distribusi antarpulau,” kata Sola.
Jika penyalurannya lintas pulau seperti saat ini, Kementerian Pertanian seharusnya mengusulkan pembenahan tata kelola distribusi ke Kementerian Koordinator Perekonomian. Dari usulan itu, evaluasi dan perbaikan dapat ditangani bersama Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Penyaluran lintas pulau membutuhkan infrastruktur jalan dan pelabuhan. Sola menambahkan, kapal untuk distribusi jagung pakan perlu dikaji dari segi frekuensi kedatangan, volume angkut, dan kualitas ruang penyimpanannya.
Keputusan impor turut menjadi momentum evaluasi bersama pemerintah terhadap tata kelola distribusi jagung pakan. ”Kami mendengar peternak kecil dan menengah, terutama peternak ayam petelur, mengeluhkan harga jagung dan Kementerian Pertanian mengusulkan untuk impor jagung,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia Sholahuddin menyatakan, keputusan impor memukul petani. Sebab, dua pekan ke depan, ada panen jagung di sejumlah sentra Jawa Timur, seperti Jombang, Kediri, Tuban, Mojokerto, dan Jember.
Kenaikan harga jagung memukul industri pakan dan peternakan unggas nasional. Jagung merupakan komponen utama pakan. Selain harga pakan, kenaikan harga jagung mendongkrak ongkos produksi daging dan telur ayam, dua sumber protein utama masyarakat.