Merunut Apresiasi Penegakan Hukum
Kinerja di bidang hukum tampaknya belum mampu menjadi unggulan pemerintah. Empat tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kinerja pemerintah di bidang ini cenderung jalan di tempat. Korupsi dan penuntasan kasus HAM masih jadi catatan.
Terus terungkapnya kasus-kasus korupsi yang dilakukan elite penyelenggara negara, partai politik, dan pengusaha besar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memperparah persepsi atas banalitas perilaku korupsi di masyarakat. Yang terbaru adalah penetapan tersangka Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan anggaran Dana Alokasi Khusus Kabupaten Kebumen untuk APBN Perubahan 2016.
Oktober lalu, hampir setiap minggu ada penetapan tersangka korupsi. Rentetan itu dimulai dari Wali Kota Pasuruan Setiyono, Bupati Malang Rendra Kresna, Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, dan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra. Penangkapan Sunjaya bahkan baru 10 hari lalu dilakukan (24 Oktober 2018).
Berdasarkan catatan Kompas, ada 24 bupati/wali kota dan 2 gubernur yang dijerat KPK tahun ini. Dalam periode 10 tahun terakhir, jumlah kepala daerah yang diproses hukum oleh KPK naik pesat, terutama pasca-2014. Dari rata-rata tiga sampai lima kepala daerah dijerat KPK dalam setahun, kini menjadi dua digit alias menjadi puluhan kepala daerah jadi tahanan KPK.
Merujuk pada 2014, jelas bersamaan dengan awal pemerintahan Jokowi-Kalla. Artinya, jika dibaca secara lugas, pada era pemerintahan ini terjadi upaya ”pembersihan” secara lebih tegas para kepala daerah yang bermain-main dengan anggaran negara atau kewenangannya. Dalam kaca mata publik, hasil survei Kompas menunjukkan apresiasi publik atas bidang hukum secara umum yang terus meningkat sejak April 2015 hingga April 2018.
Namun, mengapa berbagai pengungkapan kasus hukum yang masif oleh KPK itu tak mampu mengangkat apresiasi terhadap kinerja pemerintah dalam bidang penegakan hukum?
Apresiasi publik terkait penegakan hukum saat ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan enam bulan lalu. Bahkan, penurunan kepuasan di bidang hukum relatif paling besar dibandingkan dengan bidang lainnya, yaitu ekonomi, politik, dan kesejahteraan sosial. Pada April lalu, 66 persen responden merasa puas dengan kinerja pemerintahan di bidang hukum, sedangkan pada Oktober turun menjadi 55,3 persen. Tingkat kepuasan publik terhadap penegakan hukum saat ini hampir setara dengan periode satu setengah tahun pemerintahan, yakni pada April 2016.
Jika ditelisik lebih jauh, pilihan politik turut memengaruhi penilaian publik terhadap penegakan hukum. Sekitar tiga perempat pemilih Jokowi-Ma’ruf Amin mengaku puas terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum. Sedangkan untuk pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya 35,9 persen yang menyatakan hal sama.
Latar belakang generasi juga menyajikan pendapat yang berbeda terkait kinerja pemerintah di bidang hukum. Pendapat responden generasi milenial cenderung berimbang antara mereka yang puas dan yang tidak. Adapun lebih dari separuh responden yang bukan milenial mengaku puas terhadap hal ini.
Bias pengaruh
Sejumlah isu hukum yang muncul selama enam bulan terakhir telah memengaruhi penilaian publik. Misalnya, pengusutan dugaan keterlibatan mantan Menteri Sosial Idrus Marham dalam korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Idrus menjadi menteri pertama di era pemerintahan Jokowi-Kalla yang terjerat korupsi. Patut diingat pula penangkapan sejumlah kepala daerah atas dugaan penerimaan suap merupakan bagian dari partai pendukung atau koalisi pemerintah.
Selain itu, tampak pula penilaian yang tak beranjak membaik dalam dua aspek penegakan hukum, yaitu memberantas suap dan jual-beli kasus hukum, menjamin perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan hukum, menuntaskan kasus HAM, serta memberantas KKN (korupsi). Rata-rata tingkat apresiasi publik responden terhadap berbagai aspek itu hanya berkisar sedikit di atas 50 persen dari penilaian di awal periode pemerintahan Januari 2015. Di antara bidang-bidang tersebut, apresiasi publik tertinggi masih ditujukan pada upaya menuntaskan kasus kriminalitas dan narkoba.
Timpangnya tingkat kepuasan penegakan hukum antara responden pemilih Jokowi dan Prabowo juga mengindikasikan bahwa penilaian terhadap kinerja pemerintah tak bisa lepas dari soal subyektivitas dan pemihakan politik. Demikian pula kelompok pemilih milenial yang cenderung lebih skeptis dalam tingkat kepuasan ketimbang pemilih usia mapan. Tak bisa dielakkan bahwa pengaruh identifikasi kelompok semacam itu mengakibatkan berkurangnya tingkat apresiasi.
Hal ini bermakna bahwa sulit dihindari terjadinya kelembaman apresiasi meski pemberantasan korupsi dilakukan secara gencar. Penegakan hukum menjadi satu bidang yang sulit diandalkan sebagai wajah keberhasilan pemerintah, di tengah keberhasilan pengungkapan ratusan kasus korupsi kepala daerah (95 bupati wali kota dan 2 gubernur) oleh KPK empat tahun terakhir ini (terlepas bahwa KPK lembaga independen, tidak di bawah pengaruh pemerintah).
Berbeda dengan persepsi atas kinerja pemerintah bidang hukum yang menurun, hasil survei menunjukkan citra umum lembaga-lembaga penegak hukum di mata responden dinilai relatif tetap (memperhitungkan margin of error) meski angkanya menipis. Rata-rata penurunan 1,17 persen dibandingkan dengan hasil survei April 2018. Penilaian terhadap citra KPK, misalnya, menurun tipis 2,12 persen, disusul Mahkamah Konstitusi turun 1,64 persen, sedangkan Kepolisian RI relatif tetap.
Meskipun citra KPK mengalami penurunan, lembaga antirasuah ini masih menempati posisi teratas dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain di mata responden. Hal ini bukan tanpa alasan. Puluhan kasus korupsi kakap berhasil diungkap oleh KPK sepanjang April-Oktober 2018. Namun, gencarnya penangkapan yang dilakukan KPK tidak menjamin lembaga ini otomatis mendapatkan citra baik dari responden. Banyaknya koruptor yang ditangkap justru mengindikasikan permasalahan korupsi semakin meluas dan KPK dituntut untuk lebih gencar dalam penanganannya.
Sementara itu, Kejaksaan RI menempati posisi relatif di bawah untuk citra lembaga penegakan hukum. Posisi tingkat apresiasi publik terhadap lembaga ini sejak survei April 2016 relatif tetap. Padahal, Kejaksaan Agung bukannya tinggal diam. Tercatat ada 207 jaksa yang ditindak oleh Kejaksaan pada 2017 terkait dengan jual-beli kasus atau penyuapan.
Harapan
Penilaian penegakan hukum juga mendapat sorotan internasional. Berdasarkan Rule of Law Index 2017-2018, yang dirilis oleh World Justice Project Rule of Law Index, lembaga internasional yang memantau kondisi berjalannya hukum di 113 negara, Indonesia berada di peringkat ke-63 dengan nilai 0,52. Indonesia turun dua peringkat dari 2016. Sementara Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik setiap tahun, tetapi masih jauh dari rata-rata Asia Tenggara dan negara lain di Asia.
Naik turunnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum menjadi catatan penting di ujung masa pemerintahan ini. Laporan kedua lembaga riset tersebut dapat menjadi peringatan bagi pemerintah dan lembaga hukum untuk menumbuhkan kepercayaan publik atas kondisi hukum di negeri ini.
Modal untuk itu sudah ada karena tiga dari empat responden masih menaruh harapan akan kondisi hukum yang lebih baik ke depannya. Sebanyak 75 persen responden masih yakin bahwa penegakan hukum di masa depan akan membaik. Keyakinan ini tinggal ditindaklanjuti dengan kerja nyata.