JAKARTA, KOMPAS — Pihak Rumah Sakit Polri Kramatjati mengimbau penyelam yang terlibat dalam operasi evakuasi pesawat Lion Air PK-LQP untuk mengikuti terapi hiperbarik. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya penyakit dekompresi akibat aktivitas penyelaman.
Hal tersebut disampaikan Penanggung Jawab Pelaksanaan Terapi Hiperbarik Rumah Sakit Polri Ajun Komisaris Besar Karjana dalam jumpa pers, Senin (5/11/2018) siang.
”Kami mengimbau semua penyelam yang terlibat, baik relawan maupun TNI/Polri, untuk mengikuti terapi oksigen hiperbarik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Menurut Karjana, penyelam yang terlibat dalam operasi evakuasi pesawat bisa mengikuti terapi di Rumah Sakit Polri Kramatjati tanpa dipungut biaya.
Pada hari ketiga operasi evakuasi oleh tim SAR gabungan, ada 152 penyelam yang dikerahkan. Di Rumah Sakit Polri, baru 14 penyelam dari kepolisian yang mengikuti terapi hiperbarik.
Karjana menjelaskan, tujuan pelaksanaan terapi hiperbarik agar penyelam bisa beradaptasi dengan kedalaman perairan. Ketika menyelam, ada tahapan-tahapan yang mesti diikuti sesuai prosedur standar operasi (SOP). Penyelam tidak boleh mendadak turun ke kedalaman tertentu dalam waktu singkat, begitu pula ketika hendak naik ke permukaan.
”Apabila SOP dilanggar, muncul penyakit dekompresi, yaitu nitrogen yang berada di dalam darah akan berikatan dengan gas sehingga terbentuk gas nitrogen. Hal ini mengakibatkan penyumbatan pada pembuluh darah dan lebih fatal lagi terjadi penyumbatan pada organ dalam. Ini yang memicu kematian mendadak pada penyelam,” tutur Karjana.
Karjana menyebutkan, terapi hiperbarik bisa diikuti sebelum atau setelah penyelaman. Sebelum mengikuti terapi, pasien akan diasesmen, mulai dari identitas, riwayat penyakit, serta riwayat penyelaman dan penerbangan terakhir.
Pasien juga akan mengikuti pemeriksaan medis umum, seperti pemeriksaan kondisi secara umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Pemeriksaan itu diikuti pula dengan pemeriksaan penunjang oleh spesialis THT dan radiologi.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut, kondisi pasien akan dianalisis, apakah memenuhi syarat atau tidak. Jika belum memenuhi syarat, misalnya mengalami batuk atau pilek, akan ditunda sampai sembuh.
Setelah dinyatakan memenuhi syarat, pasien kemudian mengikuti terapi. Pasien masuk ke sebuah ruangan udara bertekanan tinggi yang berisi oksigen murni. Petugas terapi secara bertahap mengatur tekanan oksigen di dalam ruangan disesuaikan dengan kedalaman penyelaman yang akan atau telah ditempuh pasien.
”Terapi hiperbarik bisa dilakukan sebelum atau setelah penyelaman. Lama terapi sekitar dua jam. Di dalam ruangan udara bertekanan tinggi itu, klien beradaptasi secara bertahap, dimulai dengan tekanan 1 atmosfer. Nah, kalau untuk penyelaman di sekitar perairan Tanjung Karawang dengan kedalaman 30-34 meter, klien bisa diberikan tekanan hingga 14 atmosfer, sesuai kebutuhan,” tutur Karjana.
Koordinator Data Antemortem Tim DVI Polri Komisaris Besar Saljiyana mengatakan, terapi hiperbarik merupakan salah satu SOP yang harus diikuti penyelam. Sebelum menyelam dua sampai tujuh hari, penyelam mesti mengikuti terapi hiperbarik.
”Jangan sampai SOP ini tidak dilakukan sehingga bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan pada penyelam. Sebab, penyelam ini tengah mengemban tugas mulia dalam melakukan operasi evakuasi,” ujarnya.
Jumat lalu, seorang penyelam, Syachrul (48) alias Anto, ditemukan meninggal ketika melaksanakan operasi evakuasi. Relawan penyelam yang ikut dalam tim SAR gabungan itu diduga meninggal akibat mengalami dekompresi. Namun, belum ada keterangan resmi dari pihak terkait mengenai penyebab kematian Anto. (YOLA SASTRA)