Perlindungan Konsumen di Era Digital Masih Tak Jelas
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Definisi perlindungan konsumen di era digital masih belum jelas. Sejumlah kasus yang terjadi belakangan menunjukkan celah yang membuat hak konsumen terancam tidak terpenuhi.
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Budiman Sitinjak, mengatakan, ada kasus dimana seorang penumpang yang menggunakan jasa transportasi daring beroda dua mengalami kecelakaan tunggal.
Perusahaan penyedia jasa transportasi daring serta lembaga terkait pun mengklaim tidak bisa memberikan ganti rugi atau santunan terhadap korban. Penolakan terjadi karena beberapa hal, di antaranya perusahaan tersebut menyatakan sebagai perusahaan teknologi. Lalu, instansi yang lain menyebutkan, kecelakaan tersebut adalah kecelakaan tunggal.
”Sedangkan korban berasal dari keluarga yang tidak mampu,” kata Rolas dalam kunjungan BPKN ke redaksi harian Kompas di Jakarta, Senin (5/11/2018). Santunan pun diberikan setelah pihak yang terkait berembuk secara kekeluargaan.
Rolas menyampaikan, kasus tersebut adalah satu contoh kasus menyangkut perlindungan konsumen dalam transaksi ekonomi digital. Masih banyak kasus yang berpotensi besar mengancam hak konsumen untuk tidak terpenuhi.
Era digital membuat kegiatan ekonomi bergerak lebih cepat ketimbang hukum yang menjadi payung perlindungan transaksi. Itu membuat definisi perlindungan konsumen pun berubah dengan cepat.
Saat ini, konsumen dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Negara dituntut untuk lebih cepat beradaptasi dengan perubahan pasar ekonomi digital.
Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN Arief Safari menambahkan, sudah saatnya undang-undang tersebut diperbarui. Pembaruan juga diperlukan untuk meningkatkan peran BPKN yang selama ini hanya bertugas sebagai pemberi rekomendasi.
Dari 161 rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah pusat, baru 30 rekomendasi yang ditanggapi oleh kementerian dan lembaga terkait. Sebanyak 131 rekomendasi lainnya bahkan belum mendapat tanggapan karena bersifat tidak wajib.
Ketua BPKN Ardiansyah Parman menyebutkan, topik lain yang perlu diperdalam dalam era ekonomi digital ini adalah terkait perlindungan data dan transaksi konsumen. BPKN sedang melakukan penelitian terkait dampak terhadap perlindungan konsumen seiring bertumbuhnya ekonomi digital.
Meningkat
Berdasarkan data BPKN, jumlah aduan konsumen meningkat secara signifikan selama empat tahun terakhir. Jumlah aduan selama 2015-2017 secara berturut-turut adalah 28, 46, dan 107 aduan.
Pada Januari-Oktober 2018, BPKN telah menerima 277 aduan. Mayoritas sektor yang menjadi aduan adalah perumahan, jasa pendidikan, pembiayaan konsumen, perbankan, transportasi, dan e-dagang.
Arief Safari mengatakan, jumlah aduan terus meningkat, tetapi belum menunjukkan potensi aduan yang sebenarnya. Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di Indonesia pada 2016 baru mencapai 30,8 persen.
”Sebanyak 30,86 yang tahu hak dan kewajiban mereka sebagai konsumen, tetapi tidak mampu menggunakan hak. Di negara maju, IKK berkisar 50-60 persen,” kata Arief.