”Saya Hanya Bisa Menangis di Dalam Air...”
”Saya cuma bisa menangis di bawah air,” kata Agus Sulaiman (43) mengungkapkan perasaannya setelah dua kali menyelam untuk membantu evakuasi pesawat Lion Air PK-LQP. Meski bukan untuk pertama kalinya menjadi sukarelawan kegiatan SAR, musibah ini tampak mengguncang naluri kemanusiaan Agus.
”Saat mencapai dasar laut pertama kali, saya melihat semuanya, dari bangkai pesawat hingga jasad manusia yang tidak utuh,” kisahnya saat ditemui Kompas di dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (4/11/2018).
Mengenai apa yang ditemuinya, ia tidak berani bercerita lebih banyak. Rekaman tentang pengalaman tersebut hanya ia simpan dalam ingatan dan kamera yang dibawanya saat menyelam.
Saat menyelam di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, Agus harus menghadapi beragam tantangan. Evakuasi di kedalaman lebih dari 30 meter membuatnya tidak memiliki banyak kesempatan untuk memilih dan memilah.
Pada kedalaman tersebut, jarak pandang hanya 3-4 meter pada siang hari dan ia tidak bisa berada di dasar laut lebih dari 15 menit. Tak hanya itu, dalamnya lumpur dan arus laut yang biasa muncul di sore hari juga menyulitkan evakuasi.
Untuk musibah Lion Air JT-610 ini, sekitar 100 penyelam dikerahkan setiap hari. Mereka yang secara sukarela atau diminta mengikuti kegiatan bantuan tersebut harus memiliki pengalaman menyelam lebih dari 1.000 kali atau memiliki keahlian sebagai penyelam penolong (rescuer diver).
Bagi Agus, penyelaman SAR kali ini serupa dengan pengalaman sebelumnya pada 1997. Kala itu, pesawat SilkAir MI185 yang jatuh ke Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, menewaskan 104 penumpang.
Kesiapan
Ketika bertugas, pria asal Palembang yang telah mengantongi sertifikat Dive Master tersebut mempersenjatai dirinya dengan perlengkapan menyelam pribadi yang bobotnya 23 kilogram. Ia juga dibekali tabung selam seberat 17 kilogram bertekanan 3.000 PSi, setara sekitar 100 kali tekanan ban mobil.
Untuk mendukung proses evakuasi, ia membawa kantong jaring berukuran sekitar 30 sentimeter x 1 meter. Kantong sekali pakai yang dianyam sendiri tersebut digunakan untuk mengangkut barang.
Ia menjelaskan, saat turun ke bawah air, setiap penyelam harus turun secara berpasangan untuk memastikan keselamatan. Keharusan itu pun bisa menjadi tantangan lain karena kepercayaan kepada pasangan menyelam dibutuhkan.
Oleh karena itu, penyelam dari Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) selalu memastikan rekan-rekannya yang ikut dalam operasi pencarian ini agar menyelam dengan nyaman. ”Kalau ada yang membuat tidak nyaman, lebih baik jangan menyelam,” ujarnya.
Kesiapan mental bagi penyelam menjadi salah satu kunci keselamatan penyelam. Konsekuensi terburuk dari kegiatan menyelam, menurut Agus, adalah kelumpuhan atau kematian.
Tantangan
Enam hari tak menyentuh tanah. Hujan dan panas adalah atap. Ketika tubuh dan mata lelah, kantong jenazah menjadi kasur. Namun, peluh letih hilang ketika puing dan tubuh berhasil diangkat bersama semangat di tengah cerita duka tragedi pesawat Indonesia.
Darat adalah tempat kita berpijak dan bernapas. Darat menjadi rumah yang menyambut tumpah keringat dalam letih tenaga. Dan darat adalah kehidupan yang mengantar kerinduan.
Namun, laut berbeda. Kaki tak berpijak pada laut. Itulah yang dirasakan Sandro Feldy M (26), satu dari 15 penyelam Direktorat Polisi Air dan Udara Badan Pemelihara Keamanan Polri.
Pria kelahiran Ambon ini mengatakan, tantangan tidak hanya ketika ia bersama teman lainnya menyelam mencari tubuh dan puing pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 yang jatuh di perairan Karawang.
Sejak hari pertama, 15 penyelam diterjunkan untuk operasi penemuan pesawat Lion air. Sejak itulah, enam hari mereka tak lagi menyentuh daratan. Hidup di atas ombak lautan.
Para penyelam tidak hanya berjuang di dalam laut yang kadang arus ombaknya tak dapat diprediksi dan tak menentu, pandangan yang terbatas, ditambah air yang cukup keruh. Di atas laut pun begitu, tantangan yang dihadapi tak kecil. Panas menyengat bisa berubah menjadi hujan, serta tiupan angin membawa perahu karet terombang-ambing.
Terutama memasuki hari keempat hingga keenam, cuaca tidak bersahabat sehingga pencarian menjadi tak efektif
”Rasanya letih, itu pasti. Ini adalah laut, bukan darat. Tenaga pasti terkuras. Selain itu, jika kami belum menemukan apa pun dari pesawat, membuat kami sedih dan penasaran. Artinya harus berusaha lebih keras lagi,” kata pria berpangkat Bhayangkara Satu ini.
Namun, peluh, keletihan, dan kesedihan hilang ketika mereka berhasil menemukan sesuatu. Semangat kembali membara. Semangat itu berkobar di setiap para penyelam, termasuk Muhammad Mudjtahidin (24). ”Kami sangat puas ketika mendapat puing-puing pesawat,” katanya.
Pria berpangkat Bayangkara Satu ini merasa letih terbayar. Namun, hatinya tetap bergetar ketika menemukan potongan tubuh. Tantangan tak berhenti di situ.
Energi berkurang setelah menyelam di kedalaman sekitar 30 meter dalam waktu 15 menit. Lapar pun menyerang. Sebungkus mi instan mentah mereka remukan, membuka bumbu, dan kocok agar menjadi satu. Disantap bersama, makanana itu begitu nikmat. Cukup mengurangi rasa lapar dan menambah energi.
”Boks mi ini selalu ada di perahu alami,” ujar Sandro sembari tersenyum.
Komandan menjadi teman
Di tengah kehidupan laut yang keras dan menantang, ada sosok yang begitu dihormati dan menjadi teman bagi para penyelam. Ia adalah Komisaris Faried.
Sosoknya tegas, tak jarang bentakkan keluar dari mulutnya. Meski begitu, Sandro kagum dengan Faried sang komandan.
”Salut dengan Komandan Faried. Dia mau berbaur bersama kami. Melepas letih bersama, tidur di atas kapal. Kadang kami tidur beralas kantong jenazah. Ia begitu peduli dengan kami,” kata Sandro.
Faried mengatakan, ia bertanggung jawab atas keselamatan para penyelam. Berpisah justru membuatnya tidak mengerti kondisi mereka.
”Saya harus berbaur. Keselamatan anggota nomor satu,” ujarnya.
Ia menambahkan, usia para penyelam 23 tahun hingga 30 tahun. Mental mereka harus dijaga. Sering kali anggotanya memiliki semangat yang besar terutama ketika menemukan bagian tubuh dan puing pesawat.
Semangat itu harus dijaga. Mereka harus tetap tenang, fokus, dan dapat mengontrol diri dan alat penyelaman yang dibawa.
Faried mengatakan, jangan sampai semangat justru menjadi kendala dan sedih menjadi hambatan untuk menjalankan tugas.
Terapi hiperbarik
Setelah enam hari menyelam mencari korban kecelakaan serta puing pesawat Lion Air PK-LQP, 15 penyelam dari Kepolisian Air dan Udara diperiksa di Rumah Sakit Polri R Said Sukanto, Kramatjati, Minggu.
Sebanyak 15 penyelam Direktorat Polisi Air dan Udara Badan Pemelihara Keamanan Polri menjalani terapi hiperbarik untuk mengurangi kadar nitrogen di dalam tubuh serta memeriksa telinga karena tekanan air dalam laut saat menyelam dapat membahayakan pendengaran.
Kasubdit Patwal Air Polairud Polri Komisaris Besar Makhruzi Rahmat mengatakan, pemeriksaan dilakukan guna menghindari kemungkinan buruk pada penyelam.
”Para penyelam itu bertugas selama enam hari untuk mencari puing dan korban kecelakaan Lion Air PK-LQP. Sekali bertugas, mereka bisa menyelam hingga lebih dari 32 meter. Waktu menyelam dibatasi, yakni 15 menit. Setelah 15 menit, penyelam harus naik ke atas, kemudian melanjutkan penyelaman,” katanya.
Satu per satu para penyelam diperiksa tekanan darah dan pengecekan pendengaran sebelum menjalani terapi hiperbarik. Terapi hiperbarik merupakan terapi pengobatan yang menggabungkan oksigen murni dan tekanan udara 1,3-6 atmosfer di dalam ruang udara bertekanan tinggi. Oksigen bertekanan udara tinggi mudah larut ke seluruh tubuh yang ada cairan dari darah, saraf, dan tulang.
Faried mengatakan, setelah terapi hiperbarik, ia dan anggota merasa fit dan ringan. Mereka siap kembali ke laut dengan siap menjalankan operasi SAR.
Bagi mereka yang mengabdikan diri untuk kemanusiaan, menyelam memang bisa menjadi pertaruhan hidup dan mati. Oleh karena itu, kesempatan tersebut tidak hanya bisa disebut sebagai pengalaman, tetapi juga pengabdian untuk kemanusiaan dan pengetahuan. (ERIKA KURNIA/AGUIDO ADRI)