Setelah Lima Tahun Topan Haiyan, Banyak Warga Enggan Pindah
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Meskipun masih harus menghadapi ancaman bencana topan badai, banyak warga di wilayah yang sering terkena bencana topan di Filipina enggan pindah. Alasannya, di lokasi yang baru belum tentu mereka bisa mendapatkan penghasilan untuk menyambung hidup.
Diofel Llamado (55) terpaksa mengungsi saat Haiyan menghancurkan Filipina pada 2013. Namun, hari ini Llamado kembali tinggal di tempat yang sama, dengan kemungkinan topan akan kembali menerjang di masa depan.
Pada peringatan lima tahun terjadinya topan Haiyan—salah satu yang paling mematikan—di Filipina, kembalinya Llamado ke daerah tempat tinggal lamanya adalah tanda bahwa Filipina harus berjuang keras memindahkan warga dari zona yang paling rentan.
Apalagi topan adalah ancaman yang sangat mendesak karena topan badai kini lebih sering menyerang dan membawa curah hujan yang menghancurkan. Hal tersebut menurut para pakar terjadi karena perubahan iklim.
”Kita tidak dapat berpikir bahwa kita akan selalu aman. Bahkan, ketika Anda tidur, Anda harus berpikir seperti seorang prajurit: satu kaki siap di kuburan,” kata Llamado.
Korban
Topan Haiyan menghantam Filipina tengah pada subuh 8 November 2013. Ini merupakan topan terkuat yang pernah menghantam daratan Filipina dan menyebabkan lebih dari 7.360 orang tewas atau hilang.
Akibat topan tersebut, air laut menerjang masuk ke daerah padat penduduk. Gelombang badai inilah yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban sehingga topan Haiyan disebut sangat mematikan.
Bahkan, beberapa warga yang mengungsi pun tidak bisa menghindar dari terjangan gelombang badai. Dua anak perempuan Llamado tewas ketika air deras menghantam pusat evakuasi. Meski demikian, Llamado justru tetap kembali tinggal di daerah yang sama tempat keluarganya pernah tinggal sebelum topan Haiyan menerjang.
Llamado mengatakan, bisnis kecilnya membuat kue kering tidak akan bertahan karena perumahan yang diusulkan pemerintah di daerah yang lebih aman tidak memiliki aliran air dan listrik.
”Jika seseorang menawarkan kami mata pencarian, kami akan tinggal di sana. Namun, sampai itu terjadi, bagaimana kami harus bertahan hidup? Tidak ada yang akan memberi kami makanan,” ujar Llamado.
Moustafa Osman, ahli manajemen bencana yang berbasis di Inggris, mengatakan, keputusan Llamado untuk kembali tinggal di tempat tinggalnya dulu merupakan gambaran hidup warga miskin di negara-negara rawan bencana lainnya, baik di Asia maupun Afrika.
”Satu hal yang paling sulit dilakukan adalah memindahkan orang dari desa atau wilayah mereka sendiri dan menempatkan mereka di tempat yang asing bagi mereka. Kecuali Anda memiliki rencana yang tepat dan alternatif yang lebih baik, mereka tidak akan mau pindah,” tutur Osman.
Alasan
Perumahan di bawah standar, kesulitan mendapatkan mata pencarian, tidak ada transportasi, dan bahkan konflik dengan penduduk yang ada di daerah permukiman kembali adalah alasan-alasan yang biasanya menjadi kendala pemindahan korban bencana ke lokasi permukiman kembali.
India menghadapi kritik karena membangun ribuan apartemen di kota Chennai yang digunakan untuk menampung warga masyarakat yang telantar akibat bencana.
China, salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana, juga dikritik karena memindahkan secara paksa para korban tanah longsor yang sering terjadi.
Di Filipina, sekitar 15.000 keluarga miskin diperintahkan pindah dari kota Tacloban yang mengalami dampak terparah topan Haiyan. Namun, hingga kini banyak warga belum pindah dan mereka tetap berjuang untuk hidup.
Ada hubungan yang jelas antara perubahan iklim dan curah hujan yang lebih dahsyat.
Maria Rosario Felizco, Direktur Oxfam untuk Filipina, mengatakan, kebutuhan untuk menempatkan warga korban bencana di daerah yang tidak rentan bencana belum sepenuhnya terpenuhi. ”Itulah pelajaran yang harus kita pelajari. Kita tidak harus menunggu bencana sebelum kita memikirkan itu,” lanjutnya.
Bahaya yang membayangi masyarakat Filipina dan di negara-negara lain muncul karena pengaruh pemanasan global cuaca ekstrem. Pakar iklim Universitas Oxford, Friederike Otto, menyebutkan, ada hubungan yang jelas antara perubahan iklim dan curah hujan yang lebih dahsyat.
Badai topan yang mengepung hujan lebat ini diperkirakan akan semakin berbahaya karena dampak perubahan iklim memanifestasikan dirinya. Juga karena begitu banyak warga tinggal di daerah yang terancam topan badai. Ini sangat berbahaya.
”Betapa destruktifnya badai sangat bergantung pada siapa dan apa yang dirugikan,” ucap Otto. (AFP)