Sentimen anti-Amerika Serikat bergelora di Iran menjelang penerapan sanksi AS, awal pekan ini. Teheran yakin menang dalam ”perang psikologis” melawan AS.
TEHERAN, MINGGU Ribuan warga Iran turun ke jalan-jalan di Teheran, Minggu (4/11/2018), dengan membawa spanduk dan poster sambil meneriakkan slogan anti-Amerika Serikat. Peringatan penyanderaan Kedutaan Besar AS selama Revolusi Iran 1979 dijadikan momentum untuk menggalang kekuatan moral warga Iran atas sanksi AS yang menyasar sektor energi dan gas serta keuangan Iran.
Disiarkan secara langsung oleh televisi pemerintah, ribuan mahasiswa terlihat terlibat dalam unjuk rasa yang diselenggarakan pemerintah. Mereka membakar bendera AS dan foto-foto Presiden AS Donald Trump di luar kompleks di pusat kota yang dulunya menjadi tempat misi diplomatik AS berkantor. Mahasiswa memang menjadi pelaku utama peristiwa pada 1979 itu.
Mahasiswa garis keras menyerbu Kedutaan AS pada 4 November 1979 segera setelah jatuhnya Pemerintah Iran yang didukung AS. Sebanyak 52 warga AS disandera selama 444 hari. Sejak saat itu, kedua negara bermusuhan dengan sengit.
Komandan pasukan elite Garda Revolusi, Mayor Jenderal Mohammad Ali Jafari, di Teheran, mengatakan bahwa Iran akan melawan dan mengalahkan ”perang psikologis” AS serta aksi penerapan kembali sanksi ekonomi. ”Amerika telah meluncurkan perang ekonomi dan psikologis sebagai upaya terakhir.
Namun, rencana AS terkait sanksi akan dikalahkan dengan berlanjutnya perlawanan kami,” ujarnya.
Dalam pidato yang disiarkan pada Sabtu (3/11/2018), Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei menyatakan, kebijakan Trump menghadapi perlawanan di seluruh dunia. ”Tujuan AS adalah untuk membangun kembali dominasi yang dimilikinya (sebelum 1979), tetapi telah gagal. Amerika telah dikalahkan oleh Republik Islam Iran selama 40 tahun terakhir,” katanya.
Peran Arab Saudi
Pada pekan-pekan mendatang, Teheran dan para pemangku kepentingan yang terhubung dengan politik Timur Tengah dan energi global bakal memantau sejauh mana penerapan kembali sanksi atas Iran memengaruhi produksi minyak.
Dipantau pula seberapa jauh upaya Iran dan negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) menyiasati dampak dari sanksi AS itu.
Sanksi AS, yang intinya melarang pembelian minyak Iran, dikhawatirkan mengancam keseimbangan pasar minyak mentah dan berisiko meningkatkan harga.
Para analis menilai hal itu akan menjadi perhatian utama Arab Saudi sebagai negara yang diperkirakan dapat mengambil peran sebagai pengganti suplai yang hilang akibat sanksi.
Pilar utama pasar minyak global diperkirakan terpengaruh mengingat Iran adalah produsen terbesar ketiga OPEC. Iran mengekspor setara dengan 2,5 juta barel per hari pada April lalu.
”Dalam minggu-minggu mendatang, semua mata tertuju pada ekspor Iran, sejauh mana efek dari sanksi AS, serta seberapa cepat produksi akan jatuh,” kata Riccardo Fabiani, analis untuk Energy Aspects.
Dalam situasi itu, Arab Saudi adalah satu-satunya produsen dengan kapasitas cadangan yang signifikan, yakni mencapai sekitar dua juta barel per hari. Volume tersebut dinilai dapat mengompensasi hilangnya pasokan Iran.
Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih mengatakan, negaranya siap untuk meningkatkan produksi hingga mencapai 12 juta barel per hari. Pada Oktober, produksi minyak Saudi adalah 10,7 juta barel per hari setelah dilakukan peningkatan sebesar 700.000 barel per hari.
”Kita semua mengawasi sanksi terhadap Iran dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan ekspor Iran,” katanya kepada kantor berita Rusia, Tass, pekan lalu.
Mulai dari Libya, Venezuela, Nigeria, Meksiko, Angola, hingga lainnya memaksa OPEC serta produsen non-OPEC untuk membatalkan pemotongan produksi minyak.
Sanksi AS terhadap Iran bisa membuat harga naik lagi. Badan Energi Internasional mengatakan, situasi saat ini sangat menentukan bagi pasar minyak. (AP/AFP/REUTERS)