JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia menanggapi keluhan masyarakat terkait praktik layanan pinjaman uang berbasis teknologi finansial yang dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Asosiasi tersebut memastikan bahwa pelanggaran etika penagihan tidak dilakukan anggotanya.
”Dari yang kami tahu, pelanggaran tersebut dilakukan tekfin pinjaman yang tidak teregistrasi di Otoritas Jasa Keuangan alias ilegal,” kata Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Ia juga memastikan, perusahaan yang dilaporkan para korban bukan anggota AFPI yang terdiri dari 73 perusahaan tekfin peminjaman resmi.
Dari pemberitaan Kompas (5/11/2018), pada Minggu (4/11), pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jeanny Silvia Sari, mengungkapkan pengaduan masyarakat yang dilayangkan kepada aplikasi pinjaman, baik yang resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun yang tidak.
Sejak 2016 hingga sekarang, LBH Jakarta menerima sepuluh pengaduan yang melibatkan 283 korban di sejumlah wilayah Indonesia. Pengaduan yang dilaporkan masyarakat antara lain praktik penagihan yang menyasar nasabah beserta relasinya yang terdapat di nomor kontak ponsel, penagihan tak beretika dan tak kenal waktu.
Bersamaan dengan hal tersebut, Wakil Ketua Bidang Fintech Pendanaan Multiguna AFPI Aidil Zulkifli mengatakan bahwa saat ini OJK sudah membuat surat arahan terkait penggunaan data pribadi nasabah tekfin. Beberapa arahan masih didiskusikan bersama pihak asosiasi.
Selaku CEO fintek pinjaman multiguna Uangteman, Aidil mengatakan, perusahaannya juga membatasi penggunaan akses ke data pribadi nasabah, seperti daftar kontak telepon. ”Kami menggunakan data kontak relasi nasabah hanya untuk analisis kelayakan kredit, bukan untuk menagih pinjaman yang telat dibayarkan,” ujarnya.
Fintek pinjaman Uangteman yang telah berdiri sejak 2015 dan terdaftar di OJK per Juli 2017 ini juga menerapkan standar tertentu dalam praktik penagihan pinjaman. Uangteman melakukan penagihan dengan berbagai cara, baik melalui sistem di aplikasi maupun manual, yaitu dengan telepon dan penagih di lapangan (field collector) oleh internal perusahaan.
”Kami melakukan penagihan pinjaman yang telat dibayarkan secara halus dan sesuai prosedur operasi standar. Kalau prosedur dilanggar, kita akan pecat,” kata Aidil.
Sertifikasi
Untuk menjamin etika penagihan dipraktikkan dengan baik oleh tekfin pinjaman, AFPI menilai sertifikasi perlu diberlakukan. Sertifikasi yang dimaksud adalah ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi, sesuai peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2016.
Penerapan sertifikasi tersebut merupakan bagian dari manajemen risiko dan menjaga keamanan data dalam setiap layanan yang diberikan kepada nasabah.
Selain itu, sertifikasi untuk standardisasi proses penagihan sesuai kode etik juga perlu dibuat. ”Kami dari pihak asosiasi akan menyiapkan sertifikasi ini secepatnya, mengingat masalah yang muncul selalu terkait penagihan,” jelas Sunu.
Pagu biaya
Dalam hal perlindungan nasabah, tekfin pembiayaan yang diatur dalam Peraturan OJK No 77/POJK.01/2016 telah menerapkan pagu biaya. Pagu biaya yang dimaksud adalah pembatasan biaya atau bunga pinjaman.
Sejak dua bulan terakhir, anggota AFPI telah mulai menyepakati penerapan bunga pinjaman hanya sampai 90 hari dari tenggat pembayaran. Hal ini berbeda dengan kredit perbankan yang terus berjalan hingga pinjaman pokok dan bunganya dibayar lunas, Sunu menjelaskan.
Pagu biaya tersebut juga diterapkan untuk menekan keseluruhan biaya yang harus dikembalikan peminjam, yakni agar nilainya tidak lebih dari dua kali lipat dari nilai pokok pinjaman.
Sebagai contoh, jika nasabah memiliki pinjaman senilai Rp 2 juta, kemudian nasabah mengalami kesulitan dalam pengembalian, maksimal nilai total pengembalian pinjaman beserta biaya lainnya tidak boleh lebih dari Rp 4 juta.
Menurut Sunu, mekanisme penerapan pagu biaya ini diserahkan kepada masing-masing anggota. Berdasarkan data AFPI, beberapa perusahaan tekfin pinjaman ada yang sudah memberhentikan biaya-biaya setelah melewati hari ke-30.
”Dengan adanya pagu biaya, AFPI memastikan bahwa visi untuk melakukan edukasi kredit kepada masyarakat pada akhirnya meningkatkan inklusi keuangan masyarakat,” tuturnya.
Keberadaan fintek pinjaman dinilai membantu menjangkau masyarakat yang secara finansial belum terjangkau perbankan. Di sisi lain, perusahaan penyedia aplikasi tekfin pinjaman juga perlu mengedukasi masyarakat dalam mengelola keuangan dan mengakses jasa keuangan.
Berdasarkan data OJK, tingkat inklusi keuangan atau akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan di Indonesia baru mencapai 69 persen pada 2017. Pada 2019, pemerintah menargetkan capaian inklusi keuangan naik ke angka 75 persen. (ERIKA KURNIA)