Arab Saudi Memulai Pembangunan Reaktor Riset Nuklir
Oleh
Elok Dyah Messwati
·2 menit baca
RIYADH, SELASA — Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman meletakkan batu fondasi pembangunan reaktor penelitian nuklir pertama di Arab Saudi, Senin (5/11/2018). Reaktor penelitian nuklir ini merupakan salah satu dari tujuh proyek strategis yang diluncurkan Pangeran Mohammed dalam kunjungan ke King Abdulaziz City for Science and Technology (KACST) di Riyadh.
Kantor berita Pemerintah Arab Saudi, SPA, tidak memberikan rincian tentang kapan penelitian atau reaktor non-listrik–yang biasanya digunakan untuk penelitian, pengembangan, dan tujuan pendidikan itu–akan dibangun serta tidak disebutkan berapa biaya yang dibutuhkan.
Langkah itu merupakan upaya Kerajaan Arab Saudi untuk mendiversifikasi sumber kebutuhan energi di negara tersebut. Arab Saudi saat ini mengandalkan minyak dan gas alam untuk pembangkit listrik guna memenuhi permintaan kebutuhan listrik yang tumbuh dengan cepat dan untuk fasilitas pengubahan air laut menjadi air yang layak dikonsumsi.
Selain meluncurkan proyek pembangunan reaktor penelitian nuklir pertama, Pangeran Mohammed juga meluncurkan proyek-proyek strategis lainnya di bidang energi terbarukan, energi atom, desalinasi atau pemurnian air laut, obat genetik, dan industri pesawat terbang.
Dari sejumlah proyek strategis itu, pembangunan reaktor penelitian nuklir dan pusat pengembangan struktur pesawat terbang merupakan proyek paling signifikan.
16 reaktor nuklir
Arab Saudi, yang saat ini masih menjadi pengekspor minyak mentah terbesar di dunia, berencana membangun 16 reaktor nuklir selama dua dekade ke depan senilai 80 miliar dollar AS (Rp 1.188 triliun). Langkah negara itu mendiversifikasi energi berlangsung di tengah kekhawatiran sejumlah kalangan terkait isu proliferasi nuklir di Timur Tengah.
Pangeran Mohammed pada Maret lalu mengatakan, jika Iran mengembangkan senjata nuklir, Riyadh juga akan melakukan hal serupa. Dalam wawancara dengan televisi CBS, dia menyamakan pemimpin tertinggi Iran dengan Hitler. Dia juga mengatakan ”ingin membuat proyek (nuklir) sendiri di Timur Tengah”.
Riyadh menyimpan keraguan mendalam terhadap kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 yang ditujukan untuk membatasi program nuklir Iran. Mereka memuji keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Mei lalu, yang menegaskan langkah AS untuk keluar dari kesepakatan yang ditandatangani AS pada era Presiden Barack Obama dan lima negara lainnya (China, Inggris, Jerman, Perancis, dan Rusia) itu.
Pengumuman Riyadh untuk memulai proyek reaktor penelitian nuklir pada Senin kemarin tersebut berlangsung saat AS bertekad untuk terus-menerus menekan Iran melalui sanksi-sanksi baru yang mulai diberlakukan pada hari yang sama. (REUTERS/AFP)