Bogor dan Pergulatan Menangani 600 Ton Sampah Per Hari
Oleh
Ratih P Sudarsono
·3 menit baca
Sebagaimana kota lainnya, Kota Bogor juga masih kerepotan dalam mengatasi masalah sampah. Apalagi, kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor Elia Buntang, Bogor adalah kota lintasan sehingga produksi sampah yang harus ditangani bukan hanya berasal dari sampah masyarakat kotanya. Berbagai upaya dilakukan, antara lain berupaya membangun Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle dengan prinsip mengajak warga kota untuk sudah selesai menangani sampah mereka sendiri dari rumah ataupun tempat usahanya.
”Sebab, sampah itu tanggung jawab masing-masing. Tidak ada dalam peraturan yang mengharuskan pemerintah mengurusi sampah yang kita produksi masing-masing. Masak sampah Anda pemerintah yang harus urusi buang. Coba baca peraturan terkait dengan sampah. Sampah saya adalah tanggung jawab saya, sampah Anda tanggung jawab Anda,” tuturnya.
Meski demikian, pemerintah kota berkepentingan mewujudkan kota yang bersih dan sehat serta mendorong warga untuk bisa mengatasi sampah yang diproduksinya sendiri. Untuk itu, perlunya upaya mendorong dan memfasilitasi berdirinya Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS 3R). Dengan konsep itu, diharapkan makin mudah mewujudkan kota yang bersih. Sebab, dari hitung-hitungan di atas kertas, tinggal 30 persen sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir karena sampahnya itu benar-benar residu yang tidak dapat dimanfaatkan masyarakat.
”Saat ini sudah terbangun TPS 3R di 26 lokasi. Tiap TPS itu melayani 350 sampai 1.500 keluarga. Total warga yang dilayani sekitar 10.000 keluarga. Kami memulainya tahun 2017. Keinginan kami, setiap kelurahan, kalau bisa setiap RW, ada TPS 3R,” kata Elia.
Menurut Elia, permasalahan sampah itu sebetulnya sangat sederhana kalau mau. Kalau semua warga mau memilah sampah mulai dari rumahnya, selesailah permasalahan sampah. Yang jadi soal, masyarakat maunya pemerintah yang menangani sampah mereka.
”Ini pantas tidak? Kita bikin sampah di rumah, negara yang disuruh ngurusi. Misalnya lagi, Anda punya usaha, masak sampahnya pemerintah yang harus tanggung jawab,” katanya.
Kota Bogor sendiri, lanjut Elia, sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Persampahan. Di situ salah satu amanatnya adalah setiap warga harus bertanggung jawab dengan sampahnya. Selain perda tersebut, belum lama ini Wali Kota Bogor mengeluarkan Peraturan Wali Kota Nomor 61 Tahun 2019 tentang Pembatasan Penggunaan Kantong Plastik Sekali Pakai di Pasar Modern dan Retail yang efektif berlaku 1 Desember 2018.
Di Kota Bogor ada 23 pasar ritel modern yang semua setuju dan mendukung kebijakan ini. Penggunaan kantong plastik sekali pakai, yang populer sebagai tas keresek, dari 23 ritel tersebut mencapai 1,8 ton per hari.
Sosialisasi kebijakan ini dilakukan dinasnya sejak Oktober. Hasilnya cukup signifikan karena 14 dari 23 ritel sudah mulai melaksanakannya. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup, total penggunaan kantong plastik dari 14 pasar ritel modern itu sudah berkurang 2 ton.
”Ini kewajiban tidak boleh menyediakan tas keresek itu mulai 1 Desember, loh. Jika perwali ini sudah efektif berlaku, lalu dilaksanakan bukan saja oleh pasar ritel modern, melainkan oleh semua warga Kota Bogor, hasilnya akan secara signifikan mengurangi sampah plastik masyarakat. Produksi sampah masyarakat saat ini 600 ton per hari dengan hitungan satu juta penduduk dikalikan 0,6 kilogram sampah yang dihasilkan per jiwa. Kalau dari 600 ton itu 13 persennya saja adalah plastik, itu artinya sekitar 70 ton,” katanya.
Mengenai sistem pengolahan sampah tingkat kota yang masih menggunakan open dumping, Elia mengatakan, tidak ada pemerintah daerah saat ini yang bisa melaksanakan penanganan sampah akhir dengan sistem sanitary land fill karena biayanya yang sangat mahal.