Jabodetabek Krisis Sampah
Peraturan daerah pengelolaan sampah sudah tegas mengatur untuk mengurangi dan memilah sampah. Namun, pelaksanaannya lemah. Kesadaran warga pun amat kurang.
JAKARTA, KOMPAS Sebenarnya sudah ada gerakan-gerakan komunitas yang memilah dan mengelola sampah sejak dari rumah atau tingkat keluarga, yang tersebar di Jabodetabek. Diantaranya ada LabTanya di Tangerang Selatan, lalu Bank Sampah Karya Peduli di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, juga ada Mat Peci di tepi Ciliwung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Jika dirunut bisa puluhan komunitas di tiap kota di Jabodetabek.
Akan tetapi, gerakan komunitas ini, meski sudah berlangsung bertahun-tahun belum juga bergaung secara luas. Dampaknya untuk skala kota apalagi provinsi belum signifikan.
Di Kabupaten Bekasi, misalnya, tumpukan sampah masih menggunung di Jalan Raya Kali Cikarang Bekasi Laut (CBL), Senin (5/11/2018). Jalan Raya Kali CBL yang membentang sepanjang 20 kilometer dari Kecamatan Sukawangi hingga Cikarang Utara. Memasuki kilometer 11, setelah melewati jembatan besar CBL, tumpukan sampah mulai terlihat di kanan dan kiri jalan.
Wilayah itu terdiri dari permukiman, peternakan ayam, dan beberapa pabrik. Setiap 100 meter, selalu ada titik pembuangan sampah liar yang baru. Bau busuk pun menguar di sekitar tempat-tempat tersebut.
Adapun sampah terdiri dari berbagai jenis. Mulai dari organik hingga plastik, baik yang dikemas maupun tidak. Sebagian besar sampah masih basah, sedangkan sebagian lainnya sudah dibakar.
Yayah (46), warga Desa Muktiwari, Kecamatan Cibitung, mengatakan, pemandangan tersebut sudah ada sejak delapan tahun lalu. Saat itu, ia yang baru pindah dari Desa Sumberjaya, Kecamatan Tambun Selatan, kerap menemukan pengendara yang membuang sampah di tepi jalan.
“Sampai sekarang, kebanyakan orang buang sampah sambil lewat. Ada yang pakai motor, ada juga yang pakai mobil,” ujar dia.
Tidak ada tempat pembuangan sementara dekat pusat kegiatan warga di CBL kilometer 11 tersebut. Jarak menuju tempat pembuangan akhir (TPA) Burangkeng sekitar 23 kilometer.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Jaoharul Alam mengakui, masih ada pihak yang sembunyi-sembunyi membuang sampah di Jalan Raya Kali CBL. Mereka mengumpulkan sampah dari kompleks perumahan dan membuangnya ke jalan.
Di Kota Bogor, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Elia Buntang mengatakan, mengenai sistem pengolahan sampah tingkat kota yang masih menggunakan open dumping, hal ini karena tidak ada pemerintah daerah yang kini bisa melaksanakan penanganan sampah akhir dengan sistem sanitary land fill, karena biayanya yang sangat mahal.
Meskipun demikian Kota Bogor berupaya terus menggerakkan tempat pembuangan sementara sekaligus pusat reduce, reuse, recycle (3R). Juga menggandeng pusat belanja untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Namun, Kota Bogor tetap kerepotan mengelola sampah. Produksi sampah masyarakat Bogor saat ini 600 ton per hari dengan hitungan satu juta penduduk dikalikan 0,6 kilogram sampah yang dihasilan per jiwa.
Saling terkait
Padahal, sampah di perkotaan terus bertambah seiring pertambahan jumlah penduduk. Tahun ini, volume harian sampah DKI Jakarta yang dibuang ke tempat pembuangan sampah terakhir (TPST) Bantargebang sekitar 7.000-7.500 ton per hari. Sekitar 14 persen atau 1.000 ton per hari merupakan sampah plastik. Volume kantong plastik yang dihasilkan sekitar 9 persen atau 630 ton per hari.
“Semua saling terkait, kalau warga bisa mengurangi sampah plastik, kita bisa memperpanjang usia pembuangan sampah ke Bantargebang,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji di Jakarta, Senin (5/11/2018).
Isnawa mengatakan, Kapasitas TPST Bantargebang 49 juta meter kubik, saat ini akumulasi sampah di sana sudah 39 juta meter kubik. Dengan perhitungan volume sampah harian 7.000-7.500 ton per hari, pembuangan ke TPST Bantargebang hanya bisa sampai tahun 2021. Sementara pembangunan instalasi pengolahan sampah dengan incinerator (ITF) membutuhkan waktu 2-3 tahun.
Dengan sifatnya yang sulit terurai, plastik Jakarta di TPST Bantargebang mencapai lebih dari seperempat juta ton per tahun. Plastik konvensional butuh waktu 500 tahun untuk terurai, sedangkan plastik degradable membutuhkan sekitar 2-4 tahun untuk terurai.
Menurut Isnawa, pengurangan sampah DKI sebenarnya ditargetkan sekitar 18 persen per hari sesuai rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). “Kalau warga bisa mengurangi sampah plastiknya saja, akan sangat membantu memperpanjang usia TPST Bantargebang sementara pembangunan ITF-ITF berlangsung,” kata dia.
Dengan sedikit mengubah gaya hidup saja, masing-masing warga bisa mengurangi penggunaan sampah plastik. Seperti penggunaan tas belanja yang bisa dipakai ulang hingga membawa wadah minuman isi ulang sendiri sehingga mengurangi pengunaan minuman kemasan plastik.
Hal ini juga sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Bahkan di Pasal 21 Perda itu sudah tegas diamanatkan pengelola toko modern, pusat perbelanjaan hingga pasar wajib menggunakan kantong belanja ramah lingkungan. Ancaman sanksi pun cukup tinggi, yaitu uang paksa Rp 5 juta-Rp 25 juta bagi pemilik usaha yang tak mematuhi.
Namun di lapangan, penggunaan kantong plastik masih tak terkendali. Di pasar tradisional, sekali belanja bisa menghasilkan 5-10 kantong plastik.
Aturan belum eksplisit
Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rahmawati mengatakan, belum efektifnya perda itu salah satunya belum eksplisitnya aturan pengurangan sampah plastik. Selain itu juga sosialisasi dan gaung dari peraturan soal sampah yang secara umum belum mencapai seluruh warga.
“Kami pernah survei ke 400 pengunjung di Hari Bebas Kendaraan Bermotor, ternyata belum sampai 50 persen warga tahu ada aturan setiap warga wajib mengurangi sampah di rumah,” katanya.
Ketua Indonesia Solid Waste Association Sri Bebassari mengatakan, Undang-undang pengelolaan sampah dan aturan turunannya sebenarnya sudah tegas dan rinci. Namun, sosialisasi yang masih kurang. Sosialisasi ini perlu dilakukan secara luas dengan melibatkan ahli komunikasi. Termasuk juga guru maupun rumah ibadah.
“Sebenarnya yang terpenting soal sampah adalah menanamkan pemahaman setiap orang bertanggungjawab atas sampahnya masing-masing,” katanya.
(IRE/NIA/JOG/RTS/UTI)