Pancasila Luput dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar/Nasrullah Nara
·3 menit baca
Pancasila sebagai dasar negara luput terakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Sejumlah kalangan minta RUU ini dikaji lebih cermat.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan perlu ditinjau kembali sebelum memasuki fase pembahasan antara DPR dan pemerintah. Sejumlah hal mendasar dalam draf per 13 September 2018 malah tidak terakomodasi dan cenderung rancu secara konsepsional.
Salah satu bagian yang memuai kritik publik adalah tidak tercantumnya dasar negara Pancasila secara eksplisit pada bagian ”menimbang” dalam draf RUU tersebut.
”Di tengah merasuknya radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan, kita khawatir jika Pancasila tidak disebutkan sebagai rujukan pertimbangan UU tersebut. Padahal, kita semua sudah sepakat bahwa nilai-nilai Pancasila menjadi pemersatu bangsa ini di tengah keberagaman,” ujar Doni Koesoema, pemerhati pendidikan, di Jakarta, Senin (5/11/2018).
Doni yang juga anggota staf Litbang Majelis Nasional Pendidikan Katolik menilai, RUU tersebut mencoba mengatur kelembagaan pendidikan pada agama tertentu, tetapi tidak berpijak pada realitas. Contohnya, dalam Pasal 72 Ayat 1 disebutkan, ”Pendidikan Keagamaan Katolik jalur pendidikan formal menyelenggarakan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama Katolik pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.”
Menurut Doni, pasal ini hanya mengakui dan mengatur keberadaan jalur pendidikan menengah dan tinggi agama Katolik. ”Lalu, bagaimana cara mengantisipasi dasar hukumnya jika kita ingin mendirikan lembaga PAUD, SD, dan SMP agama Katolik?” kata Doni.
Direktur Jenderal Bina Masyarakat Katolik Kementerian Agama Eusabius Binsasi mengatakan sedang merencanakan rapat dengan pihak gereja. ”Masukan dari gereja akan ditampung sebagai salah satu saran Kemenag kepada DPR,” katanya.
Direktur Jenderal Bimas Kristen Kemenag Thomas Pentury menjelaskan, memang ada kebutuhan payung hukum untuk pendidikan formal dan nonformal keagamaan, seperti sekolah teologi dasar, menengah, dan sekolah tinggi teknologi. ”UU Sisdiknas dan PP Nomor 55 Tahun 2007 hanya mengatur tentang sekolah umum swasta yang dikelola yayasan Kristen,” ujarnya.
Selain pendidikan formal, dibutuhkan juga pengakuan terhadap pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh gereja. Bentuknya bisa berupa kursus atau pelajaran tambahan.
Negara intervensi ibadah
Terkait polemik Pasal 69 dan 70 yang mengatur soal sekolah Minggu dan katekisasi, Thomas berpendapat, hal itu perlu ditinjau kembali secara cermat. ”Mungkin pihak DPR mengira sekolah Minggu dan katekisasi sebagai bentuk pendidikan nonformal di gereja. Padahal, sejatinya itu adalah ibadah yang tidak boleh dicampuri oleh negara,” katanya.
Pasal 69 Ayat 1 draf RUU tersebut berbunyi, ”Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.”
Thomas mengatakan, pihaknya sedang berdialog dengan kalangan gereja guna merumuskan saran yang akan diajukan di dalam daftar inventarisasi masalah Kemenag. Intinya, memperjelas perbedaan pendidikan formal, nonformal, dan ibadah beserta payung hukumnya.