JAKARTA, KOMPAS - Fenomena yang terjadi belakangan ini memperlihatkan sosok pahlawan kebangsaan mulai memudar dalam ingatan generasi milenial. Sebagian dari mereka lebih lancar bercerita tentang tokoh idola atau superhero ciptaan industri yang mereka kagumi daripada bercerita tentang sosok pahlawan bangsa (Kompas, 5/11/2018).
Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Bondan Kanumoyoso, cara kita memaknai pahlawan bangsa masih meninggalkan jurang lebar dengan realitas kaum milenial. Ini terjadi karena sejarah yang disampaikan di dunia pendidikan hanya menekankan pada penanaman nilai-nilai, belum pada penanaman sikap kritis. ”Pelajaran sejarah hanya berhenti pada glorifikasi masa lalu yang tidak relevan dengan masa sekarang. Bahkan, guru-guru yang menyampaikannya tidak berlatar belakang pendidikan sejarah. Semua guru bisa mengajar karena sejarah dianggap hanya soal penanaman nilai-nilai dan hafalan,” ucapnya di Jakarta, Senin (5/11).
Akibatnya, pelajaran sejarah menjadi tidak menarik dan tidak menyentuh persoalan konkret masyarakat yang kian rumit. Pendidikan sejarah tidak mampu menjawab apa-apa. Sebaliknya, tokoh-tokoh superhero dari negeri antah berantah justru hadir lebih nyata dan bertubi-tubi lewat poster, film, bacaan, media sosial, dan sebagainya. ”Akhirnya, yang fantasi justru menjadi nyata dan yang nyata menjadi fantasi. Terjadi keterbalikan karena kita lupa memaknai ulang para pahlawan, apa peran mereka dalam kehidupan kita sehari-hari,” kata Bondan.
Sutradara Garin Nugroho juga melihat, narasi kepahlawanan selama ini dituliskan dengan penuh jargon. Akibatnya, pemahaman generasi muda soal kepahlawanan tidak utuh. Yang diingat hanya jargonnya. Seharusnya narasi kepahlawanan perlu menonjolkan sisi individu tokoh yang bersangkutan karena daya tariknya di situ.
Berbahaya
Pendiri Komunitas Historia, Asep Kambali, khawatir jika generasi muda tidak lagi paham bagaimana para pahlawan berjuang dengan berdarah-darah dan penuh air mata dalam mengusir penjajah. ”Saat ini, perang fisik memang tidak terjadi, tetapi perang lain terjadi, mulai perang ekonomi hingga perang informasi. Anak-anak muda mesti memahami, masa lalu dengan masa kini berhubungan. Kalau tidak ada perjuangan masa lampau, tidak mungkin ada masa depan gemilang,” ujarnya.
Kaburnya imajinasi kaum milenial terhadap sosok pahlawan nasional bisa berimplikasi serius. ”Bangsa ini akan hancur jika masyarakatnya buta sejarah. Tanpa mengetahui sejarah, anak-anak muda kita tidak tahu arah dan cita-cita bangsa ini,” kata Asep.
Bondan punya kekhawatiran serupa. Apabila cita-cita bersama para pendiri bangsa dilupakan, elemen-elemen bangsa ini bisa tercerai-berai. ”Ini bahaya sekali. Orang akhirnya cenderung menjadi superior terhadap kelompok-kelompok lain, antarkubu saling menyerang karena tidak ada lagi bangsa di sini.”
Menurut pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, bagaimanapun pahlawan merupakan representasi dari imajinasi kolektif kita sebagai bangsa. Jika imajinasi kolektif itu tidak ada, kita tidak tahu lagi identitas dan karakter kita sebagai bangsa. ”Loyalitas dan komitmen kita terhadap konsensus hidup bersama juga bisa pudar dan akhirnya kita tidak bisa lagi bekerja sama.”
Ia menegaskan, fenomena memudarnya sosok pahlawan dalam ingatan sebagian anak muda menunjukkan, kita gagal mengarusutamakan narasi pahlawan kebangsaan pada era sekarang. ”Saya pernah menjadi pembicara di acara pembekalan untuk Badan Perwakilan Mahasiswa. Saya tanya siapa pahlawan nasional yang Anda kagumi. Mereka menyebut tokoh-tokoh internasional. Jadi, ada lompatan dalam imajinasi mereka tentang pahlawan.”
Arie Sujito, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berpendapat, jika sosok pahlawan kebangsaan terus memudar dan diisi dengan sosok idola atau superhero, ia khawatir generasi ke depan buta sejarah. ”Mereka akan dianggap tidak tahu sejarah, tidak nasionalis oleh kalangan tua. Sementara mereka merasa orang tua tidak tahu dunia mereka. Akan terjadi saling tuding.”
Namun, lanjut Arie, kita mesti menyikapi kondisi sekarang dengan hati-hati. Ia melihat saat ini memang ada arus baru di mana anak muda mencari sosok pahlawan versi mereka sendiri. ”Mungkin bagi anak-anak muda, pahlawan adalah orang yang mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, mengajar anak-anak di pedalaman, atau pembuat aplikasi antikorupsi. Mereka tidak lagi berbicara tentang Soekarno- Hatta atau Bung Tomo yang berjuang di era kemerdekaan, tetapi semangatnya adalah menghargai jasa dan pengabdian seseorang. Jadi belum tentu mereka melupakan sejarah.”
Dalam kondisi seperti ini, ujar Arie, dialog antargenerasi menjadi penting. Sebab, setiap zaman melahirkan generasi, dan setiap generasi mempunyai tantangan beragam. Semangat dan narasi kepahlawanan sangat penting untuk ditularkan kepada anak muda dalam berbagai versi.
Susun ulang
Baik Bondan, Asep, Arie, Garin, maupun Yudi sepakat sudah saatnya bangsa kita menyusun narasi besar tentang pahlawan yang lebih cocok untuk generasi milenial dan membuat mereka terkoneksi dengan lorong imajinasi kolektif kita sebagai bangsa. Narasi itu disebarkan melalui medium kekinian, seperti buku elektronik, aplikasi gawai, permainan, film, komik, atau media sosial. Agar lebih mengena, kaum muda bisa diajak berkunjung ke tempat-tempat bersejarah dan diajak merefleksikan perjuangan para pahlawan.
”Anak-anak bisa diajak membayangkan, kita merdeka bukan di Istana Merdeka, melainkan di teras rumah Soekarno, bendera dikibarkan di tiang bambu, benderanya hasil jahitan tangan, bukan jahit mesin. Negara ini diawali dari tekad, bukan material, dari nol menjadi ada. Anak-anak mesti diajak berefleksi sampai ke situ,” ujar Bondan.