JAKARTA, KOMPAS - Sembilan hari pasca jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP, Selasa (6/11/2018), tim disaster victim identification Polri telah menerima 163 kantong jenazah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 26 kantong jenazah belum diambil sampel DNA-nya.
Kepala Instalasi Forensik RS Polri Kombes Edy Purnomo mengatakan, bagian-bagian tubuh dari ke-26 kantong jenazah baru akan diidentifikasi Selasa malam. "Lalu, besok (Rabu) baru dapat dipastikan itu bisa dijadikan sampel DNA atau tidak," kata Edy.
Ketua Tim Postmortem disaster victim identification (DVI) Polri Kombes Adang Azhar mengatakan, hingga Selasa siang, jumlah sampel DNA yang telah diambil belum bertambah dari 429. Jumlah tersebut berasal dari 137 kantong jenazah yang dikumpulkan hingga Senin (5/11/2018).
Seharusnya, jumlah korban hanya 189 orang. Belum dapat dipastikan berapa jumlah individu yang menjadi pemilik 429 bagian tubuh yang diambil sampel DNA-nya. Edy mengatakan, banyak bagian tubuh yang sedianya dimiliki orang yang sama.
Di lain pihak, Ketua Tim Antemortem DVI Kombes Saljiyana mengatakan, masyarakat terus menuntut agar tim DVI segera dapat mengidentifikasi jenazah sanak keluarganya untuk kemudian dimakamkan. Karena itu, jika ada bagian tubuh jenazah yang berhasil diidentifikasi, Polri segera menyerahkannya kepada keluarga korban.
"Memang tuntutan masyarakat sangat besar agar identifikasi cepat selesai. Kalau nanti ada bagian tubuh lain dari korban yang sama, akan kami diskusikan lagi langkah apa yang akan diambil," kata Saljiyana. Sejauh ini, baru 27 jenazah yang telah diidentifikasi.
Proses panjang
Menurut Adang, identifikasi memerlukan proses yang cukup panjang. Ia mencontohkan, dari 26 kantong jenazah yang ditemukan pada Senin, diperlukan kecermatan untuk memilih jaringan mana yang kondisinya cukup bagus untuk dijadikan sampel DNA. "Setelah itu, sampel akan dimasukkan di mesin selama empat hari," kata Adang.
Kemudian, sampel DNA jenazah yang diambil di posko postmortem akan dicocokkan dengan data dari berkas antemortem. Data DNA juga akan disandingkan dengan bentuk identifikasi lain yaitu metode sidik jari dan ordontologi (struktur gigi). Ketiganya termasuk idetifikasi primer.
Hal ini dimungkinkan karena DVI Polri dibantu divisi ordontologi forensik dan Indonesian automatic fingerprint identification system (Inafis) untuk memperkuat analisis DNA di laboratorium di ranah postmortem. Keluarga korban juga berperan penting dalam menyediakan data-data untuk mendukung identifikasi.
"Misalnya, keluarga dapat membawa paspor, SIM, atau ijazah ke posko antemortem untuk mendukung analisis sidik jari. Hasil-hasil rekam medis di dokter gigi juga dapat membantu," kata Saljiyana.
Untuk identifikasi sekunder, tim DVI dapat menggali informasi tentang properti-properti yang terakhir dikenakan korban, seperti sepatu, cincin, hingga tato.
Terkait proses yang panjang tersebut, Saljiyana berharap keluarga korban dapat bersabar menunggu hasil identifikasi. "Kami mengapresiasi keaktifan keluarga korban untuk menanyakan kabar terbaru. Kami pun terus bekerja selama 24 jam, bahkan tanpa shift," kata Saljiyana.
Untuk mendukung pengumpulan data korban dari keluarga yang tidak dapat hadir di Jakarta, Polri membuka posko untuk mengumpulkan data antemortem di beberapa kantor kepolisian daerah. Beberapa di antaranya Polda Bangka Belitung, Polda Jawa Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda DI Yogyakarta. (ADITYA DIVERANTA/KRISTIAN OKA PRASETYADI)