JAKARTA, KOMPAS — Dengan semakin menipisnya cadangan energi fosil di bumi, peralihan jenis kendaraan dari konvensional menuju kendaraan listrik semakin mendesak. Kendati demikian, peralihan jenis kendaraan tersebut membutuhkan dukungan solid pemerintah agar Indonesia tidak kembali menjadi pasar pelaku industri otomotif internasional.
Negara maju, seperti Norwegia, China, Swiss, Belanda, dan Inggris, sedang berada di dalam masa peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik. Negara-negara tersebut diketahui memberlakukan kebijakan yang dapat menarik minat masyarakat untuk menggunakan kendaraan listrik.
Berdasarkan data yang diolah Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Norwegia, misalnya, berhasil memperluas pangsa pasar kendaraan listrik menjadi 39,19 persen selama 2012-2017. Salah satu penyebab keberhasilan tersebut adalah kebijakan bebas pajak pembelian kendaraan hingga 100 persen.
”Indonesia juga dapat menerapkan insentif dalam bentuk yang lain,” ujar Peneliti Pusat Studi Energi UGM Adhika Widyaparaga seusai Final Report 1st Round Electrified Vehicle Comprehensive Research and Study di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Adhika menjabarkan, pemerintah dapat menawarkan pembebasan aturan ganjil-genap dan penggunaan jalur bus rapid transit (BRT) bagi pemilik kendaraan listrik. Kebijakan seperti yang disebutkan diyakini dapat menarik masyarakat, khususnya kelas menengah ke atas, untuk membeli kendaraan listrik. Apalagi, kendaraan listrik juga lebih hemat untuk digunakan di daerah urban.
Saat ini, sejumlah pemain besar industri otomotif telah memproduksi kendaraan listrik. Sejumlah produk dari perusahaan, seperti Toyota, Mitsubishi, dan Tesla, telah masuk ke pasar Indonesia.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, sedang mengembangkan program riset Mobil Listrik Nasional (Molina) sejak 2012. Program itu melibatkan UGM, Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
”Pengembangan Molina melalui sembilan tahap. Sekarang sedang memasuki tahap enam, yakni uji internal,” kata Nasir. Selain Molina, UNS dan ITS sedang berkolaborasi untuk mengembangkan dan memproduksi motor listrik menggunakan baterai dengan nama Gesits.
Nasir melanjutkan, pengembangan kendaraan listrik, seperti Molina, membutuhkan dukungan pemerintah dan pelaku industri. Selain mobil listrik, pemerintah juga ingin mengembangkan kendaraan listrik bertenaga minyak sawit di masa depan.
Adhika melanjutkan, permasalahan dari sektor hulu dan hilir perlu segera menjadi perhatian pemerintah. Beberapa di antaranya peringanan harga pembelian kendaraan listrik dan membangun infrastruktur pengisian daya yang memadai.
Pemerintah juga perlu mempromosikan penggunaan konten lokal dalam memproduksi kendaraan listrik untuk menguatkan daya saing perusahaan domestik.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah masih fokus mengembangkan program low carbon emission vehicle (LCEV) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
Ia melanjutkan, dalam mendukung program LCEV, pemerintah telah menyelesaikan aturan hukum untuk kendaraan listrik dan sedang dikoordinasikan ke kementerian terkait untuk mendapat persetujuan dari presiden.
Aturan tersebut mengatur tentang penelitian pengembangan, dan inovasi, pengembangan industri, dan percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik di jalan raya. Aturan juga membahas pemberian fasilitas fiskal dan bantuan kredit modal kerja untuk pengadaan battery swap.
Tertarik
Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Chaikal Nuryakin, menyampaikan, minat untuk menggunakan kendaraan listrik mulai tampak di area Jabodetabek.
Sebelumnya, LPEM mengadakan survei terhadap 420 responden di Jabodetabek selama 10 Juli-21 Agustus 2018. Sebanyak 43,1 persen menyatakan tertarik menggunakan kendaraan listrik.
Dalam survei tersebut ditemukan, mayoritas lebih memilih untuk menggunakan plug in hybrid electric vehicles (PHEV) dan hybrid electric vehicles (HEV) ketimbang battery electric vehicles (BEV). Pemilihan itu berdasarkan asumsi bahwa 91,72 persen berpikir BEV tidak praktis dalam pengisian daya.