JAKARTA, KOMPAS - Kedaulatan pangan di Indonesia dinilai tidak membaik, bahkan dari beberapa indikator menunjukkan penurunan. Pemerintah selama ini lebih fokus terhadap pembangunan ketahanan pangan dengan mengabaikan kesejahteraan petani yang menjadi indikator utama kedaulatan pangan.
"Sampai sekarang, pemerintah masih terkacaukan antara konsep ketahanan atau kedaulatan pangan. Padahal, keduanya berbeda. Kedaulatan pangan lahir sebagai antisesis terhadap ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan hanya bicara soal produksi, kedaulatan pangan lebih menekankan pada produsen pangannya, yaitu petani, yang selama ini terpinggirkan," kata Ketua Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, dalam diskusi, di Jakarta, Senin (5/11/2018).
Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 sebenarnya telah mengadopsi konsep kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.
Pengajar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua Gerakan Petani Nusantara (GPN) Hermanu Triwidodo mengatakan, kedaulatan pangan sebenarnya telah menjadi salah satu komitmen dan menjadi bagian dari Nawacita pemerintah di era Joko Widodo. Ini juga menjadi salah satu visi Kementerian Pertanian tahun 2015-2019.
Namun dalam praktiknya, yang dilakukan adalah membuat target-target swasembada padi, jagung, kedelai atau yang dikenal sebagai pajale. "Tidak ada ungkapan akan menyejahterakan petani, hanya memenuhi target produksi, yang itu pun ternyata meleset. Sampai sekarang kita masih impor berbagai komoditas ini," kata dia.
Tidak membaik
Said menambahkan, dari kajian yang dilakukannya, beberapa indikator kedaulatan pangan ternyata tidak membaik. Misalnya, ketimpangan kepemilikan lahan yang melebar. Sebanyak 531 pemegang konsesi hutan menguasai 35,8 juta hektar (ha) lahan, sementara 56 persen rumah tangga petani memiliki
lahan kurang dari 0,5 ha. Data BPN juga menunjukkan, 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset tanah di Indonesia.
"Menghadapi kondisi ini, pemerintah terutaam adalah mendorong legalisasi aset. Memang ada janji redistribusi tanah 4,5 juta ha, namun realisasinya lebih lambat," kata dia.
Dari aspek tingkat kesejahteraan rumah tangga petani juga tidak membaik, sehingga menyebabkan regenerasi petani tidak terjadi. Indikator lain, menurut Said, adalah ketergantungan pada benih impor yang cenderung meningkat, seperti terjadi pada jagung, unggas, sapi, padi, dan kedelai. "Ketergantungan benih impor jelas mengancam kedaulatan pangan," kata Said.
Padahal, terkait dengan hal ini, Indonesia sebenarnya memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Indonesia memiliki 800 spesies tumbuhan pangan, 1.000 spesies tumbuhan obat, dan ribuan spesies mikro algae.
"Selain belumdimanfaatkan, sebagian spesies plasma nutfah ini sekarang terancam punah," kata Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Puji Sumedi.
Dia mencontohkan, di Flores banyak berbagai jenis jagung lokal. Namun demikian, saat ini didorong agar beralih ke jagung hibrida demi mengejar produktivitas. "Padahal jagung lokal ini selain memiliki rasa yang enak juga terbukti lebih tahan cuaca dan kemungkinan juga penyakit, yang saat ini mungkin belum banyak dikaji," kata dia.
Menurut Puji, praktik pertanian saat ini, terutama dilakukan oleh perusahaan, adalah dengan merakit benih baru yang lebih unggul dari aspek produktivitas, namun banyak mengabaikan galur aslinya. Padahal, varietas lokal bisa jadi memiliki banyak keunggulan lain yang selama ini belum diketahui, misalnya tahan hama dan kekeringan.
"Seharusnya pemerintah yang lebih peduli bikin bank benih. Bukan dengan mendorong perusahaan untuk melakukan ini. Harapannya, RUU Perlindungan Sumber Daya Genetik yang tengah dibahas memasukkan hal ini," kata dia.