JAKARTA, KOMPAS - Transparansi badan publik menjadi bagian penting dari akuntabilitas. Ironisnya, mengacu laporan Komisi Informasi Pusat tahun 2018, ada 76,39 persen badan publik yang masuk kategori kurang dan tidak transparan.
”Tanpa akuntabilitas, kita tidak bisa menjalankan demokrasi yang baik,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menerima laporan implementasi Keterbukaan Informasi Publik dan Penganugerahan Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2018 di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (5/11/2018).
Tahun ini, Komisi Informasi Pusat melakukan penilaian terhadap 460 badan publik. Badan publik itu terdiri dari 134 perguruan tinggi negeri, 111 badan usaha milik negara, 86 lembaga negara/pemerintahan, 34 pemerintah provinsi, 34 kementerian, dan 16 partai politik.
Adapun gradasi penilaian mulai dari tidak informatif, kurang informatif, cukup informatif, menuju informatif, dan informatif. Hasilnya, 303 badan publik atau 65,87 persen tergolong tidak informatif. Dari 303 badan publik ini, sebanyak 171 badan tidak mengembalikan kuesioner.
Selain itu, 53 badan publik atau 11,52 persen dinilai kurang informatif. Dengan demikian, 356 badan publik atau 76,39 persen tergolong kurang dan tidak informatif.
Sebanyak 53 badan publik lainnya atau 11,52 persen dinilai cukup informatif. Untuk kategori menuju informatif dan informatif, masing-masing adalah 36 badan publik atau 7,83 persen dan 15 badan publik atau 3,26 persen.
Sementara 53 badan publik lainnya atau 11,52 persen dinilai cukup informatif. Untuk kategori menuju informatif dan informatif, masing-masing adalah 36 badan publik atau 7,83 persen dan 15 badan publik atau 3,26 persen.
”Melihat persentase tersebut, keterbukaan informasi publik di Indonesia masih jauh dari tujuan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” kata Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana.
Transparansi informasi publik merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.
Keterbukaan informasi publik, antara lain, dimaksudkan guna menjamin hak warga negara untuk mengetahui berbagai hal menyangkut kebijakan publik. Hal ini meliputi rencana, program, proses pengambilan keputusan, dan alasannya.
Tujuan lainnya untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Hal ini juga ditujukan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif, efisien, dan akuntabel.
Menurut Gede, perlu dorongan lebih besar untuk menjadikan keterbukaan informasi publik sebagai budaya guna mewujudkan tata kelola pemerintahan baik dan bersih. ”Semoga ke depan, pelaksanaan keterbukaan informasi publik menjadi lebih berkualitas,” ujarnya.
Kepercayaan masyarakat
Jusuf Kalla mengatakan, keterbukaan informasi publik tidak hanya dibutuhkan untuk menjaga kualitas demokrasi, tetapi juga berguna untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini modal penting semua badan publik, termasuk yang bergerak di bidang ekonomi dan partai politik.
”Bisnis yang tidak terbuka tidak laku. Di bidang politik juga sama. Dengan pemilihan langsung, semua mengetahui yang dilakukan parpol selama ini, ke mana keberpihakan parpol? Karena itu, parpol yang tidak terbuka menjadi tidak dipercaya masyarakat,” kata Kalla.
Sementara itu, Kementerian Keuangan menjadi satu dari dua kementerian yang meraih kategori kementerian dengan kualifikasi informatif. Kementerian lain adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Capaian Kementerian Keuangan itu merupakan yang ketiga kali secara berturut-turut dalam tiga tahun terakhir.
Keterbukaan membuat kita dapat memperoleh feedback atau masukan dan koreksi lebih cepat dari masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk dari dunia usaha, terhadap seluruh kebijakan fiskal dan informasi keuangan negara,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya berkomitmen terus meningkatkan transparansi dan keterbukaan. Sebab, hal yang dikelola adalah keuangan negara yang notabene adalah uang rakyat sehingga manfaatnya harus kembali kepada rakyat.
”Keterbukaan membuat kita dapat memperoleh feedback atau masukan dan koreksi lebih cepat dari masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk dari dunia usaha, terhadap seluruh kebijakan fiskal dan informasi keuangan negara,” kata Sri Mulyani.
Keterbukaan, menurut Sri Mulyani, juga akan makin mendidik dan memberikan informasi kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat membuat pilihan-pilihan kebijakan secara lebih baik berdasarkan fakta dan data, bukan dari informasi yang salah atau prasangka.