JAKARTA, KOMPAS - Keputusan pemerintah menunda kenaikan tarif cukai dinilai akan merusak generasi milenial. Harga rokok yang murah karena tarif cukai yang rendah akan semakin terjangkau oleh generasi muda. Rokok yang mereka konsumsi pada akhirnya akan menggerogoti kualitas kesehatannya.
Demikian disampaikan anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau Faisal Basri dalam konferensi pers dan pernyataan sikap sejumlah lembaga pegiat pengendalian tembakau di Jakarta, Selasa (6/11/2018). Hadir juga dalam acara itu perwakilan sejumlah lembaga yang juga menyayangkan keputusan pemerintah itu.
Faisal mengatakan, Presiden Joko Widodo selama ini dikenal dekat dengan generasi milenial yang kreatif dan produktif. Namun, secara tidak sadar presiden justru mengeluarkan kebijakan yang akan merusak generasi milenial itu sendiri.
Presiden Joko Widodo selama ini dikenal dekat dengan generasi milenial yang kreatif dan produktif. Namun, secara tidak sadar presiden justru mengeluarkan kebijakan yang akan merusak generasi milenial itu sendiri.
"Belum sebulan Indonesia jadi tuan rumah pertemuan IMF-Bank Dunia dan kita gembar gembor keberhasilan dan komitmen pembangunan manusia. Dengan penundaan cukai ini satu-satu komitmen itu luntur," kata Faisal.
Saat ini perekonomian Indonesia seharusnya bertransformasi pada perekonomian yang mengedepankan modal kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, segala sesuatu yang akan mengganggu kualitas sumber daya manusia Indonesia harus dienyahkan, salah satunya rokok.
Sebenarnya, ujar Faisal, ada dua komponen utama dalam pembangunan manusia, yaitu pendidikan dan kesehatan. Namun, selama ini rokok yang murah telah jadi faktor risiko kesakitan. Tidak heran karenanya jika angka Human Capital Index Indonesia atau Indeks Modal Manusia Indonesia sebesar 0,53 dan berada di urutan 87 dari 126 negara.
Rokok yang murah telah jadi faktor risiko kesakitan. Tidak heran karenanya jika angka Human Capital Index Indonesia sebesar 0,53 dan berada di urutan 87 dari 126 negara.
Kehilangan kesempatan
Direktur Program Center for Indonesia\'s Strategic Development Initiatives (CISDI) Anindita Sitepu, menyatakan, pemerintah banyak kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Padahal, selama ini kenaikan tarif cukai yang terjadi hampir tiap tahun dan rencana penyederhanaan klasifikasi cukai oleh Kementerian Keuangan sudah tepat untuk mendukung terciptanya generasi Indonesia yang lebih sehat. Sebab, cukai merupakan instrumen paling efektif untuk menekan konsumsi rokok.
"Dengan menunda kenaikan cukai tahun ini patut dipertanyakan sebenarnya pemerintah membela siapa," ujar Anindita.
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany, berpendapat, dirinya yakin Presiden mendapat masukan yang keliru dalam menetapkan kebijakan penundaan kenaikan cukai rokok. "Presiden tertipu pembisiknya," tegasnya.
Menurut Hasbullah, jika kebijakan penundaan cukai ditujukan untuk membela petani tembakau, maka pilihan keputusan itu tidak tepat. Jumlah petani tembakau sebanyak lebih kurang 600.000 atau sekitar 2,5 juta bersama keluarganya tentu tidak sebanding dengan 25 juta penduduk miskin yang terjerat candu rokok.
Jumlah petani tembakau sebanyak lebih kurang 600.000 atau sekitar 2,5 juta bersama keluarganya tentu tidak sebanding dengan 25 juta penduduk miskin yang terjerat candu rokok.
Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan, menilai, dalam konteks pengendalian tembakau pemerintah lambat menetapkan kebijakan yang pro wong cilik. Padahal pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan cukai rokok setinggi-tingginya sehingga warga miskin tidak terjerat candu rokok.
Dengan menunda kenaikan cukai pemerintah cenderung membela kepentingan industri rokok dan mengabaikan nasib warga miskin yang pengeluaran pokok keduanya setelah beras adalah rokok.
Faisal menambahkan, sumbangan industri hasil tembakau pada Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini hanya 0,9 persen. Jika dibandingkan dengan industri manufaktur sumbangannya cuma 4,46 persen dan di antara industri manufaktur nonmigas sumbangannya pun cuma 5,03 persen.
Pada kesempatan tersebut semua lembaga yang hadir dalam jumpa pers memberikan pernyataan sikapnya terkait penundaan kenaikan cukai. Lembaga tersebut adalah Komnas Pengendalian Tembakau, CISDI, Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T), Pusat Kajian jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, Yayasan Lentera Anak, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Mereka menyatakan kecewa terhadap Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani karena menunda kenaikan cukai rokok. Lembaga-lembaga itu juga mendorong pemerintah untuk menaikkan cukai rokok hingga batas maksimal 57 persen.