JAKARTA, KOMPAS - Upaya memperkenalkan sosok pahlawan bangsa dengan cara kreatif telah dilakukan pekerja film, perancang gim, dan pegiat sejarah. Cara seperti ini perlu terus dilakukan untuk menancapkan kembali narasi tentang kepahlawanan bangsa dalam ingatan generasi milenial.
Sejak 2010, setidaknya ada 11 film Indonesia yang mengangkat narasi kepahlawanan atau sosok pahlawan, antara lain Kartini, Guru Bangsa: Tjokroaminoto, Jenderal Soedirman, Soekarno, Sang Pencerah yang bercerita tentang KH Ahmad Dahlan, dan Wage yang bertutur tentang Wage Rudolf Soepratman.
Sutradara John De Rantau mengatakan terdorong membuat film Wage karena banyak anak muda sekarang yang tidak mengenal sosok pahlawan bangsa secara utuh. ”Nama pahlawannya saja belum tentu ingat, apalagi jasa-jasa mereka untuk bangsa ini. Agar sosok pahlawan kembali hadir dalam ingatan, rekam jejak pahlawan perlu diperkenalkan lagi lewat berbagai medium,” ujar John di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (3/11/2018).
John mengangkat sosok WR Soepratman ke layar lebar karena, menurut dia, pencipta lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” itu merupakan sosok visioner yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia.
Film yang dirilis tahun 2017 itu menceritakan beberapa fase dari kehidupan Wage, mulai dari seorang biasa saja hingga menjadi musisi jazz, wartawan, dan penulis. Ia kemudian tergerak membuat karya untuk bangsa, yakni lagu ”Indonesia Raya”.
John mengaku melakukan riset sekitar 5 tahun sebelum membuat film itu. Dia mencari referensi tentang Wage ke berbagai tempat dan museum. ”Ironisnya, referensi tentang Wage banyak saya dapat dari pedagang buku loakan,” kata John.
Lewat film itu, Revan Pasha, siswa kelas XII IPA SMA Negeri 7 Jakarta, mengatakan tahu lebih banyak sosok WR Soepratman, misalnya sosok pahlawan itu ternyata meninggal pada usia muda. Ia juga dipenjara Pemerintah Hindia Belanda karena menciptakan lagu ”Indonesia Raya”.
Sebelum menonton film itu, Revan tidak tahu sosok WR Soepratman. Bahkan, ketika melihat poster film Wage, ia membaca nama depan pahlawan itu dengan sebutan ”Weiz”.
Seiring perkembangan zaman, ada gejala yang mana sosok pahlawan bangsa mulai memudar dalam ingatan generasi milenial. Sebagian dari mereka lebih lancar bercerita tentang tokoh idola atau superhero yang hadir secara intens melalui medium-medium yang diakrabi generasi milenial. Hal itu, antara lain, terjadi karena cara kita mengajarkan sejarah kepahlawanan kepada generasi muda terlalu monoton (Kompas, 6/11).
Adhicipta Wirawan, dosen di Universitas Surabaya, menceritakan, anaknya yang berusia 10 tahun juga kesulitan mengikuti pelajaran Sejarah di sekolah. Setelah ia amati, ternyata pelajaran Sejarah diajarkan dengan cara ”khotbah”. Siswa hanya disuruh menghafal sehingga tidak menyenangkan.
Agar pelajaran Sejarah menarik, ia merancang permainan di atas papan (boardgame) berjudul Linimasa beberapa tahun lalu. Sambil bermain kartu, anak-anak diperkenalkan dengan sepak terjang para pahlawan pada periode Budi Utomo 1908 hingga peristiwa Trikora pada 1962. Pembelajaran seperti ini, menurut dia, lebih menyenangkan daripada disuruh menghafal.
Ia belajar dari para perancang gim di Jepang yang banyak mengangkat narasi sejarah mereka. ”Contohnya Astro Boy yang kita kenal di sini, di Jepang itu namanya Mighty Atom, diambil dari masa Jepang yang pernah luluh lantak karena bom. Dari situ anak-anak bisa belajar sejarah Jepang sambil bermain.”
Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI), sepakat bahwa sejarah perlu diajarkan dengan cara menarik dan memanfaatkan medium kekinian, seperti film dan novel. Namun, alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta ini berharap para pembuatnya melakukan riset lebih dalam.
Ia menemukan, referensi sejarah yang digunakan dalam sejumlah tayangan populer tidak tepat. ”Memang ada alasan estetika dan mendramatisasi cerita agar lebih menarik ditonton, tetapi hendaknya dilakukan dengan hati-hati agar tidak membuat penonton salah memahami konsep sejarahnya,” kata Asep.
Asep dan komunitasnya memilih mendorong anak muda belajar sejarah dengan metode empiris. Ia mengajak anak-anak muda berkunjung ke tempat-tempat bersejarah dan menginap di museum. Dari cerita dan pengalaman yang mereka peroleh, mereka tahu makna tempat-tempat itu dalam konteks sejarah lokal dan nasional.
”Satu-satunya metode pengajaran sejarah yang ideal adalah yang menyenangkan,” kata Asep. Apabila peserta merasa senang, mereka memiliki sikap peduli terhadap sejarah. Hal ini dapat dilihat dari keanggotaan KHI yang mencapai 25.000 orang dan terus bertambah. (JAL/DNE/DEW-LITBANG)