JAKARTA, KOMPAS — Komite Nasional Kecelakaan Transportasi menyatakan, pada rute penerbangan sebelum kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP, yaitu Bali-Jakarta, ditemukan adanya perbedaan indikator angle of attack. Namun, untuk mengusut tuntas penyebab kecelakaan, masih perlu analisis lebih lanjut.
”Pada penerbangan Bali-Jakarta, angle of attack (AOA) sebelah kiri berbeda 20 derajat dibandingkan yang kanan. Pilot kemudian melakukan beberapa prosedur dan akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di Jakarta,” kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Soerjanto menyampaikan, sebelum pesawat terbang ke Jakarta, AOA telah diganti di Bali pada 28 Oktober 2018. Penggantian AOA dilakukan setelah pilot melaporkan adanya kerusakan penunjuk kecepatan.
”Keberhasilan pilot menerbangkan pesawat yang mengalami kerusakan menjadi dasar KNKT untuk memberikan rekomendasi kepada Boeing. Rekomendasi harus diberikan kepada seluruh airline di dunia jika menghadapi situasi yang sama,” tutur Soerjanto menegaskan.
Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Nurcahyo Utomo mengatakan, dalam kasus seperti ini, KNKT mencari perbaikan untuk mencegah kesalahan serupa terjadi di kemudian hari. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
”Boeing perlu melakukan tindakan untuk memperbaiki atau menyampaikan apa yang sudah terjadi kepada masyarakat. Khususnya kepada pengguna pesawat Boeing 737 Max 8. KNKT bersama Boeing dan NTSB akan segera merumuskan prosedur baru untuk mencegah kecelakaan serupa,” tutur Nurcahyo.
Nurcahyo menjelaskan, AOA merupakan indikator penunjuk sikap pesawat terhadap arah aliran udara yang masih terkait dengan kerusakan pada indikator penunjuk kecepatan. Fungsinya untuk mengukur sudut pesawat terhadap aliran udara yang akan terbaca di penunjuk kecepatan pesawat.
”Kami akan mengetes AOA sensor yang sudah dilepas di Bali. Pertama, kami akan melakukan CT scan untuk melihat komponen-komponen di dalamnya. Apabila perlu dibongkar, kami akan membongkarnya. Ini untuk mengetahui kerusakan apa yang ada di sensor tersebut,” papar Nurcahyo.
Pemeriksaan AOA akan dilakukan langsung di pabrik pembuatnya di Chicago. Menurut Nurcahyo, pemeriksaan riwayat AOA juga akan dilakukan. ”Apakah AOA ini pernah diperbaiki sebelumnya? Kalau iya, apa kerusakannya, bagaimana memperbaikinya, dan siapa yang memperbaiki,” ujarnya.
Posisi asli AOA yang rusak berada di sebelah kiri bawah jendela pilot. Nurcahyo mengatakan, inilah yang menyulitkan pilot. ”Ketika AOA rusak, penunjukan kecepatan di tempat pilot dan kopilot akan berbeda. Kalau berbeda, mana yang benar, mana yang rusak, tidak ada yang tahu,” katanya.
Soerjanto mengatakan, inilah mengapa kita membutuhkan cockpit voice recorder (CVR). Fungsinya adalah untuk mendengarkan diskusi mereka apa, bagaimana mereka mengambil keputusan, dan bagaimana koordinasinya.
Selain itu, Nurcahyo mengatakan, akan ada rekonstruksi penerbangan dan melihat dampak yang timbul dari kerusakan AOA sensor. Simulasi dilakukan di engineering simulator di fasilitas Boeing di Seattle. Simulasi ini berbeda dengan yang dipakai pilot.
”Engineering simulator benar-benar bisa menyimulasikan seperti pesawat. Jadi, kita bisa menyimulasikan kondisi yang terjadi di penerbangan berdasarkan data FDR yang ada,” kata Nurcahyo.
Berdasarkan catatan Kompas, Selasa (6/11). Data yang terekam dalam flight data recorder (FDR) menunjukkan permasalahan pada indikator penunjuk kecepatan di empat penerbangan terakhir. Rutenya, Bali-Manado, Manado-Bali, Bali-Jakarta, dan Jakarta-Pangkal Pinang.
Investigator Keselamatan Penerbangan, Ony Soerjo Wibowo, mengatakan, KNKT belum menganalisis kerusakan di penerbangan Bali-Manado. Sementara untuk Manado-Bali, kerusakan yang ditemukan berbeda, tetapi masih dianalisis.
”Penyebab kecelakaan akan terus diusut. Sementara ini, kerusakan AOA yang ditemukan pada rute Bali-Jakarta tidak dapat dipastikan sama dengan penyebab kecelakaan yang terjadi,” kata Ony.
Sejauh ini, pihak KNKT sudah mewawancarai awak pesawat dan pramugari yang melaksanakan tugas terbang dari Manado-Bali dan Bali-Jakarta dengan pesawat Lion Air PK-LQP. Wawancara dengan teknisi yang melakukan perbaikan di Manado, Bali, dan Jakarta juga sudah dilakukan.
Strategi pencarian CVR
Soerjanto mengatakan, tim KNKT bersama tim TSIB Singapura hari ini kembali melanjutkan pencarian CVR dengan menggunakan Kapal Baruna Jaya 1. Pencarian tetap dilakukan menggunakan ping locator dan penyelam secara manual.
Keadaan dasar perairan Tanjung Karawang yang berlumpur menyulitkan pencarian CVR. Sinyalnya pun melemah, tetapi tidak hilang dan seharusnya dapat bertahan selama 30 hari.
Nurcahyo menyampaikan, untuk menemukan CVR, upaya penggalian tidak dimungkinkan sebab banyak pipa di dasar perairan. Maka, KNKT mendatangkan kapal dari Balikpapan untuk menyedot lumpur.
”Kapal baru berangkat siang tadi. Mungkin akan tiba di lokasi dalam waktu dua atau tiga hari ke depan. Penyedotan lumpur nantinya akan dilakukan di area yang sinyal pingnya kuat,” kata Nurcahyo.
Lebih lanjut, lumpur yang telah disedot akan dipindahkan. Setelah kering dan berkurang lumpurnya, pencarian CVR akan difokuskan di daerah tersebut. (SHARON PATRICIA)