JAKARTA, KOMPAS--Penurunan tingkat pengangguran terbuka dalam setahun terakhir membuka tantangan baru berupa peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia. Daya saing tenaga kerja rendah karena didominasi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sekolah dasar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 7 juta orang menganggur per Agustus 2018. Jumlah ini berkurang 40.000 orang dari Agustus 2017. Tingkat pengangguran terbuka yang sebesar 5,5 persen pada Agustus 2017, turun menjadi 5,34 persen pada Agustus 2018.
Namun, kualitas tenaga kerja masih perlu diperbaiki. Sebab, penduduk bekerja yang per Agustus 2018 sebanyak 124,01 juta orang masih didominasi pekerja berpendidikan sekolah dasar. Dari jumlah itu, sebanyak 50,46 juta orang atau 40,69 persennya tamat sekolah dasar.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro, Selasa (6/11/2018), mengatakan, kualitas tenaga kerja Indonesia yang rendah berimplikasi terhadap kinerja di lapangan. Ia mencontohkan, pekerja kerap kali kesulitan memahami buku panduan kerja atau merangkai tutur bicara sehingga menimbulkan salah paham dengan pimpinan.
“Mereka juga akan sulit bersaing di era revolusi industri 4.0 karena kesulitan memahami istilah, mengolah data, dan mengerti simbol-simbol,” kata Ari.
Peningkatan kualitas tenaga kerja seharusnya tidak membutuhkan waktu lama. Sebab, alokasi dana pendidikan yang sebesar 20 persen dari APBN sudah direalisasikan.
Dalam APBN 2019, pemerintah mengalokasikan 20 persen di antaranya untuk pendidikan, yakni sebesar Rp 492,5 triliun. Anggaran pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, anggaran pendidikan Rp 406,1 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 432 triliun.
Anggaran pendidikan disalurkan melalui belanja pemerintah pusat Rp 163,1 triliun, transfer ke daerah Rp 308,4 triliun, pembiayaan investasi dana pengembangan pendidikan nasional Rp 20 triliun dan dana abadi penelitian Rp 990 miliar.
“Prioritas anggaran seharusnya mengacu pada peningkatan kemampuan, bukan kegiatan operasional yang bersifat rutinitas,” kata Ari.
Kendati didominasi lulusan SD, Ari berpendapat, kualitas tenaga kerja Indonesia masih bisa diperbaiki. Kemampuan berbahasa—terutama Bahasa Inggris— dan tata kelola tenaga kerja lulusan SD dan sekolah menengah pertama (SMP) bisa ditingkatkan melalui pelatihan berkelanjutan. Mereka dibutuhkan sektor usaha jasa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Analis Kebijakan dari Indonesia Services Dialogue (ISD) Council M Syarif Hidayatullah menuturkan, tren penyerapan tenaga kerja di sektor jasa dan terkait jasa secara konsisten meningkat. Namun, kondisi itu berhadapan dengan tantangan, yakni permintaan tenaga kerja berkualitas tinggi yang semakin meningkat.
Perdesaan
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, tingkat pengangguran terbuka di desa yang naik menunjukkan mekanisasi di perdesaan belum berjalan optimal. “Produktivitas baru bisa (terjadi) kalau mekanisasi juga jalan. Nah, kita tahu, selama dua hingga tiga tahun terakhir, pemerintah membantu mekanisasi di tingkat perdesaan, di sawah, dan sebagainya,” katanya.
Kepemilikan lahan yang semakin rendah di desa juga mengakibatkan pekerjaan di sektor pertanian semakin sedikit. Warga desa beralih menjadi pekerja industri. Kecenderungan ini, kata Kalla, terjadi di mana-mana.
Tingkat pengangguran di kota turun dari 6,79 persen pada Agustus 2017 menjadi 6,45 persen pada Agustus 2018. Adapun di desa, tingkat pengangguran terbuka naik dari 4,01 persen menjadi 4,04 persen pada periode yang sama.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengatakan, di kota banyak pekerjaan di sektor formal dan bersifat tetap, sedangkan di desa lebih banyak pekerjaan informal atau pekerja paruh waktu sehingga disebut musiman.
“Di musim tanam dan musim panen, angka pengangguran pasti rendah sekali. Sementara, di antara musim tanam dan panen dan di musim kering pasti (pengangguran) meningkat,” kata Eko.
Pemerintah, kata Eko, memperbanyak program padat karya tunai di desa-desa, yang dilaksanakan setelah musim tanam dan sebelum musim panen. Pemerintah juga mendorong program Produk Unggulan Kawasan Pedesaan atau Prukades atau pembentukan kluster-kluster ekonomi yang kini sudah berjalan di 128 kabupaten.
“Saya yakin dengan masifnya pembangunan desa, padat karya tunai, BUMDes dan Prukades dan program-program dari kementerian lain di desa, angka pengangguran di desa pasti akan terus menurun,” ujar Eko.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menyebutkan, pengangguran di desa meningkat karena kebanyakan tenaga kerja usia muda tidak mau bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menyediakan pekerjaan, kendati di luar masa tanam atau panen.
Oleh karena itu, tambah Enny, perlu diversifikasi lapangan kerja di perdesaan agar diminati anak muda, misalnya dengan menambahkan unsur teknologi. (KRN/INA/NAD)