JAKARTA, KOMPAS - Indonesia menghadapi tiga problem utama dalam menghadapi tahun politik. Salah satu tantangan terberat ialah menguatnya politik identitas yang kerap digunakan menjelang kontestasi politik. Pelajaran yang diambil dari sejumlah negara menunjukkan problem identitas bisa sangat membahayakan dan mengancam eksistensi negara bangsa jika tak segera ditangani.
Dua tantangan lain ialah problem politik yang terkait dengan perumusan dan perubahan undang-undang atau konstitusi, serta problem teknologi yang berhubungan dengan penguasaan dan pengelolaan data informasi.
”Setiap bangsa di dunia saat ini menghadapi tiga persoalan tersebut, yakni persoalan teknologi, persoalan politik, dan persoalan identitas. Dalam hal teknologi dan politik, Indonesia masih tertinggal. Kini muncul persoalan identitas yang dikhawatirkan akan mengganggu kemampuan bangsa dalam menghadapi persoalan politik dan teknologi,” kata Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Selasa (6/11/2018), dalam diskusi publik Mufakat Budaya Indonesia bertema ”Menimbang Kembali Konstitusi Indonesia” di gedung harian Media Indonesia, Jakarta.
Setiap bangsa di dunia saat ini menghadapi tiga persoalan tersebut, yakni persoalan teknologi, persoalan politik, dan persoalan identitas. Dalam hal teknologi dan politik, Indonesia masih tertinggal. Kini muncul persoalan identitas yang dikhawatirkan akan mengganggu kemampuan bangsa dalam menghadapi persoalan politik dan teknologi
Diskusi tersebut dihadiri tiga pembicara lain, yakni budayawan Radhar Panca Dahana, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan pakar hukum tata negara, Refly Harun. Ini merupakan diskusi keempat dalam rangkaian diskusi publik Mufakat Budaya Indonesia untuk menuju Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III 2018, yang akan diselenggarakan akhir November 2018 di Bogor, Jawa Barat.
”Negara lain, termasuk Amerika Serikat, juga menghadapi tiga persoalan ini. Identitas juga sedang menguat di sana. Namun, karena persoalan politik dan teknologinya kuat, problem identitas ini bisa diatasi. Lain halnya dengan negara-negara di Timur Tengah yang gagal menghadapi problem identitas sehingga merusak ketahanan dua hal lainnya (politik dan teknologi),” kata Komaruddin.
Problem identitas itu pun tidak berdiri sendiri karena terkait erat dengan kondisi politik saat ini. Menurut Komaruddin, saat ini identitas agama yang dibawa oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) lebih berpengaruh daripada ideologi partai politik. Identitas parpol makin tidak jelas, sedangkan simbol agama dinilai lebih mudah dimainkan.
”Dalam politik, saat ini faktanya proses perekrutan politik di ranah eksekutif dan legislatif tidak berkualitas. Mereka yang masuk ke ranah politik bukanlah orang-orang terbaik. Di sana (legislatif dan eksekutif), ada dua poros yang dominan, pemodal dan pihak yang memiliki massa. Kapitalisme telah masuk ke lini politik dan pembuatan undang-undang,” katanya.
Parpol tidak bisa lepas dari permainan pemodal. Hal itu dalam waktu panjang akan menggerogoti kualitas bernegara.
Perubahan
Kondisi ini dipandang sebagai fenomena di hilir, sedangkan persoalan sebenarnya dari praktik politik semacam itu ialah di hulu, yakni undang-undang dan konstitusi yang menjadi dasarnya.
”Perubahan konstitusi andai jadi dilakukan harus dengan hati-hati dan melibatkan kelompok ahli, budayawan, dan negarawan yang tak lagi memikirkan kepentingan politik. Upaya itu pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang membentuk Komisi Negara untuk Penyelidikan Konstitusi,” kata Mahfud.
Kendati demikian, yang lebih penting dari perubahan konstitusi ialah konsistensi setiap warga bangsa terhadap pilihan cara dan ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Sebab, perubahan konstitusi sekalipun tidak akan bisa memuaskan semua pihak.
Refly mengatakan, perubahan konstitusi dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah lembaga negara yang posisinya tidak jelas. Perubahan harus dilakukan secara rasional dan jernih untuk melihat problem konstitusi selama ini.