Remaja Kurang Teperhatikan
Menghadapi era disrupsi teknologi, remaja tak cukup dibekali dengan pengetahuan saja. Mereka perlu miliki berbagai kompetensi baru dan pengetahuan kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Populasi remaja umur 10-19 tahun saat ini memang hanya 17 persen dari total populasi. Meski demikian, kualitas mereka menentukan 100 persen kemajuan bangsa ke depan. Namun, intervensi dan investasi bagi mereka masih sangat terbatas.
"Jika remaja tak punya keterampilan khusus di era disrupsi teknologi, peran mereka akan mudah digantikan oleh mesin atau robot," kata Guru Besar Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga Institut Pertanian Bogor Euis Sunarti dalam Seminar Nasional Analisis Dampak Kependudukan 2018 di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Situasi itu perlu di waspadai mengingat jumlah remaja Indonesia pada 2018 mencapai 44,4 juta orang atau hampir separuh penduduk Vietnam. Di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka masih cukup tinggi, 5,34 persen pada Agustus 2018. Porsi pengangguran terbesar berasal dari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Menghadapi situasi itu, lanjut Euis, remaja perlu memiliki kemampuan utama dan tambahan yang mampu menjawab tantangan revolusi industri 4.0.
Kemampuan utama itu antara lain inteligensi yang memadai untuk bekerja secara mudah, tepat, dan efisien. Mereka juga harus mampu berinovasi, beradaptasi dan kreatif. Selain itu, remaja juga harus dibekali kemampuan tambahan yang tidak mudah digantikan oleh teknologi.
Kasus perusahaan rintisan bidang transportasi daring kebanggaan Indonesia yang menempatkan mesin dan perekayasanya di India bisa jadi pelajaran. Siapapun yang tidak bisa bersaing dan bekerja efisien, akan digantikan oleh tenaga dan mesin dari negara lain.
Menurut Euis, remaja harus didorong memahami situasi itu dan disiapkan sejak dini. Namun, kurikulum pendidikan saat ini belum mampu menjawab tantangan itu. Pembentukan kompetensi itu juga tidak bisa diserahkan pada lembaga pendidikan formal atau pemerintah saja, tetapi keluarga dan masyarakat juga harus berperan.
"Ketaksiapan remaja hadapi era disrupsi bisa munculkan krisis dan bonus demografi tak tercapai," tambahnya.
Infrastruktur
Selain revolusi industri 4.0, tantangan pembangunan remaja yang kurang terperhatikan adalah pembangunan insfrastruktur yang masif. Infrastruktur memang memberi dampak positif bagi ekonomi makro, namun dampak sosialnya kurang terperhatikan.
Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Turro S Wongkaren mengatakan pembangunan Jalan Tol Cipularang dan Cipali telah mengubah kondisi ekonomi wilayah antara yang dilakukan kedua jalan tol tersebut. Perubahan ekonomi itu akhirnya turut mengubah struktur penduduk di wilayah tersebut.
Pembangunan Tol Cipali pada 2015 membuat industri jasa, transportasi dan logistik di Karawang turun. Situasi itu berdampak besar pada pekerja muda dan perempuan. Pekerja laki-laki memilih bekerja di kota lain, sedang pekerja perempuan banyak terserap ke pekerjaan informal.
"Situasi itu rentan menimbulkan masalah kependudukan baru, seperti pernikahan dini, tingkat kelahiran yang tinggi, peningkatan kematian ibu, hingga masalah pembangunan keluarga lainnya," kata Turro.
Sementara di Cianjur, sejak Tol Cipularang terbangun pada 2005, sebanyak 77 persen restoran tutup antara 2000-2006. Demikian pula pedagang kaki lima berkurang 37 persen. Sebagian besar mereka beralih ke industri kerajinan yang pekerjanya melonjak 100 persen.
"Situasi itu perlu diwaspadai jika Tol Trans Jawa dan Trans Sumatera benar-benar berfungsi penuh," katanya.
Di tengah tantangan itu, Badan Pusat Statistik pada 2018 menyebut hampir separuh remaja umur 15-24 tahun telah memasuki dunia kerja. Mereka rata-rata berpendidikan hingga kelas 2 SMP, pekerja di level rendah yang bergaji murah, tidak terjamin kesejahteraannya, serta berisiko.
Dosen kependudukan dan biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Tris Eryando menemukan pekerja remaja di kawasan industri rentan terjebak berbagai masalah kesehatan reproduksi yang mengurangi kesejahterannya. Kasus seks pranikah, penyakit menular seksual, kehamilan tak diinginkan, hingga aborsi tak aman mudah ditemukan.
Situasi itu membuat selain berbagai kompetensi untuk menghadapi era disrupsi dan pembangunan infrastruktur, pembelajaran kesehatan reproduksi sejak dini juga penting. Tanpa pemahaman kesehatan reproduksi yang benar, produktivitas mereka terancam dan sulit diandalkan jadi penggerak ekonomi.
"Kekhawatiran pendidikan kesehatan reproduksi justru mendorong seks pranikah adalah berlebihan," katanya. Jika itu terjadi, maka metode pengajarannya yang perlu dievalusi, bukan malah menegasikan pendidikan kesehatan repdoduksi karena berdampak besar bagi kesehatan dan produktivitas pekerja muda.