Apakah sulit memilah sampah dan mengolahnya sendiri di rumah? Pertanyaan itu pun dijawab dengan jujur, ”Sulit awalnya karena lebih repot. Tetapi, lama-lama terbiasa dan ternyata lebih nyaman,” ungkap Nani Wahyuni (41), warga Perumahan Benda Baru, Kelurahan Benda Baru, Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Selasa (6/11/2018), Nani dari kelompok Alpukat Berseri, salah satu komunitas pelopor Rumah Minim Sampah Berkeliling Kota, bercerita, sebelumnya, setiap petugas pengangkut sampah terlambat datang, sampah menumpuk, berbau busuk, dan keluar belatung. Saat ini, dua minggu setelah mempraktikkan teori yang didapat dalam lokakarya yang diadakan LabTanya bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan, ia sudah tidak mengalami ketidaknyamanan itu lagi.
”Sudah dua minggu ini kami (10 orang) menempatkan sampah organik dari dapur di komposter. Sampah yang tersisa adalah sampah kering yang sebagian dijual ke bank sampah dan sebagian lagi sisanya yang benar-benar residu baru diangkut petugas,” kata Nani.
Dalam lokakarya sebelumnya, Sumini (49), salah seorang pelopor di kelompok yang sama, menyebutkan, warga dibekali pengetahuan tentang cara mengurangi sampah dengan strategi tiga pintu, yaitu pintu depan, tengah, dan belakang. Pintu depan maksudnya merencanakan apa yang akan dikonsumsi, dimasak. Pintu tengah saat pengolahan dan pintu belakang mengacu pada sisa bahan makanan yang perlu dibuang.
Warga diminta menimbang produksi sampah setiap hari. Dari riset kecil-kecilan itu didapat bahwa sampah paling besar adalah sampah basah atau sampah dapur berupa sisa sayuran ataupun kulit buah yang semuanya saat ini dimasukkan dalam komposter.
”Saat ini, kalau dihitung, sampah kami berkurang 70-90 persen per hari. Untuk menggunakan komposter, awalnya takut kalau ada belatungnya, tetapi ternyata tidak terlihat, tidak tahu juga apa ada di dalam atau bagaimana. Yang pasti, sampah yang di dalam komposter tidak berbau busuk,” ujar Sumini.
Anggota kelompok yang lain, Sukowati (51), menyebutkan, perubahan juga telah terjadi pada kegiatan senam setiap hari Minggu. Jika biasanya disediakan air mineral dalam kemasan, saat ini warga diminta membawa botol sendiri. Pertemuan-pertemuan juga tidak lagi menyediakan tisu, tetapi diganti dengan serbet dan makanan tidak lagi dibungkus plastik.
Sekretaris RW 018 Kelurahan Benda Baru Agung Nugroho mengatakan, warga selama ini membayar Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per bulan untuk biaya pengangkutan sampah. Kadang ketika sampah menumpuk, solusi cepat yang diambil adalah membakarnya. Padahal, membakar sampah diketahui menimbulkan polusi udara.
Di RW 002 Kelurahan Pondok Jaya, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, langkah mengurangi sampah sudah berjalan selama dua tahun terakhir. Komunitas yang dinamai Bank Sampah Gaul ini juga didampingi LabTanya. Dari awalnya hanya ada 10 pelopor, kini sudah ada sekitar 200 warga yang mengikuti langkah mengurangi sampah.
Onik Mulyati (27), warga di RT 002 RW 002, mengatakan, saat menghadiri acara di lokasi lain, banyak orang sampai sudah hafal kebiasaan warga RW 002. ”Mereka sampai hafal. Kalau bawaannya banyak, ribet, pasti dari warga Gaul, ha-ha-ha.... Membawa tempat makan, tempat minum, serbet, dan handuk kecil ke mana-mana memang sudah standar untuk kami,” tutur Onik.
Bawaan itu, ujar Onik, untuk mengantisipasi kalau-kalau di perjalanan ternyata ia tertarik membeli sesuatu untuk dibawa pulang. Daripada menggunakan kemasan plastik atau styrofoam, ia memilih menggunakan tempat makan sendiri sebagai kemasannya.
”Saya bahkan sering mengedukasi orang-orang yang jualan juga. Apalagi yang masih pakai styrofoam. Saya sarankan untuk tidak lagi menggunakan plastik atau styrofoam karena itu merusak lingkungan,” ujarnya.
Hal itu juga sudah dilakukan di warung pecel miliknya di pasar. Ia menawari pembeli untuk tidak menggunakan plastik lagi, apalagi jika si pembeli sudah membawa tas sendiri. Memang diakui banyak yang masih belum bisa menerima, tetapi sebagian yang lain bisa memahami dan mendukung.
Bendahara Bank Sampah Gaul Dahlia mengungkapkan, saat ini dari sekitar 700 warga di RW 002, sudah ada 200 warga yang sudah memanfaatkan 98 komposter yang ada. Sampah yang dibuang dari rumah benar-benar yang memang masuk dalam kategori residu yang tidak dapat didaur ulang.
Selain itu, warga juga terdorong untuk menanam tanaman pangan atau obat di halaman rumah untuk memanfaatkan pupuk cair yang didapat dari komposter. Ia mencontohkan, pohon mangga di depan rumahnya yang sudah 10 tahun tidak berbuah kini bisa dipanen setelah diberi pupuk cair dari komposter.
Dahlia berharap, ke depan, setiap warga bisa memiliki komposter sendiri. Selain itu, saat ini, jenis sampah yang belum ada solusinya adalah plastik kemasan makanan atau minuman beraluminium foil. Selama ini, mereka membuat eco brick, memasukkan plastik-plastik itu dalam botol kemasan air mineral hingga padat. Namun, hal tersebut sebatas itu. Botol-botol padat itu akan dibuat apa masih belum terjawab.
Penggagas LabTanya dan gerakan Kota Tanpa Sampah, Wilma Chrysanti, mengatakan, LabTanya memulai dari delapan komunitas di Jakarta dan sekitarnya hingga Kalimantan untuk program Kota Tanpa Sampah. Saat ini, LabTanya bekerja sama dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan membentuk 10 komunitas Rumah Minim Sampah Berkeliling Kota. Dari pelopor-pelopor yang mendapat pelatihan diharapkan mampu menarik minat warga lainnya untuk ikut mengurangi sampah dari rumah.
”Bisa dibayangkan, jika mereka yang sudah menjadi pelopor sudah bisa mengurangi sampah hingga 90 persen, maka jika semua orang melakukan hal yang sama, betapa masalah sampah yang menggunung selama ini akan dapat teratasi, setidaknya sampah tidak lagi terus menumpuk,” tutur Wilma.
Ke depan, tujuan dari gerakan mengurangi sampah ini diharapkan sampai pada produksi mandiri warga. Berbagai kebutuhan rumah tangga seperti sabun, sampo, ataupun cairan pencuci piring, misalnya, ke depan, jika memungkinkan, warga memproduksi sendiri untuk dikonsumsi sendiri. Tentunya tanpa menggunakan kemasan plastik sekali pakai yang saat ini menjadi masalah besar.