JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat penerbangan menepis anggapan bahwa model bisnis penerbangan berbiaya murah atau low cost carrier membuat aspek keselamatan terabaikan. Standar keselamatan semua model bisnis penerbangan sama dan tidak bisa ditawar-tawar.
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, harga tarif yang mahal bukanlah jaminan suatu penerbangan aman. Berdasarkan peraturan, standar keselamatan semua model bisnis penerbangan, baik penerbangan LCC maupun yang bertarif mahal, sama. Semua maskapai mesti memenuhi syarat kelaikudaraan, kompetensi pilot, kompetensi petugas teknik, dan sebagainya.
”Jadi, kalau mempertanyakan keselamatan penerbangan berbiaya murah bagaimana, saya jawab, apakah benar pesawat yang kelas bisnis itu keselamatannya lebih baik daripada yang berbiaya murah? Karena semua persyaratannya sama. Pesawatnya juga sama,” tutur Alvin, yang juga anggota Ombudsman RI, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Menurut Alvin, perbedaan antara penerbangan LCC dan penerbangan bertarif mahal terletak pada jenis layanan yang ditawarkan, bukan aspek keselamatan. Penerbangan LCC bisa lebih murah karena layanan yang ada pada penerbangan bertarif mahal, seperti layanan bagasi, makan dan minum, serta kenyamanan tempat duduk, dihilangkan atau dikurangi.
Terkait kecelakaan yang menimpa pesawat Lion Air, salah satu maskapai penerbangan LCC, Alvin enggan berkomentar. Namun, menurut dia, kasus ini menjadi tantangan bagi maskapai penerbangan LCC untuk meyakinkan publik.
”Ini menjadi tantangan bagi seluruh maskapai penerbangan LCC meluruskan persepsi publik. Penerbangan LCC walaupun berbiaya rendah, mereka harus memenuhi keselamatan yang sama,” ujarnya.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, di luar aspek harga dan pelayanan, tidak ada yang berbeda antara penerbangan LCC dan penerbangan premium. Aspek keselamatan antara penerbangan LCC dan penerbangan premium sama saja.
Menurut Gerry, model bisnis penerbangan LCC mengutamakan frekuensi penerbangan dan jumlah penumpang yang diangkut. Maskapai tidak menghitung keuntungan berdasarkan satu tiket, tetapi berdasarkan satu penerbangan. Oleh sebab itu, apabila maskapai penerbangan LCC mengabaikan perawatan pesawat, pilihan itu menjadi langkah bunuh diri.
”Karena mengharuskan pesawatnya siap terbang terus, keputusan memangkas biaya perawatan akan merugikan maskapai itu sendiri. Dulu pernah ada yang melakukan itu dan tidak ada yang bertahan,” ujarnya.
Gerry menambahkan, terlalu dini jika mengaitkan kecelakaan pesawat dengan tarif murah yang ditawarkan. Dia pun tidak setuju apabila Kementerian Perhubungan menyikapi kecelakaan Lion Air dengan menaikkan tarif batas bawah dari 30 persen dari tarif batas atas menjadi 35 persen.
”Jika tarif batas bawah dinaikkan karena faktor keselamatan, sama saja pemerintah mengatakan pihaknya tidak bisa mengawasi kelaikan pesawat,” lanjutnya.
Setelah jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP di perairan Karawang, Jawa Barat, 29 Oktober, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akan meninjau penerapan standar keselamatan penerbangan di maskapai penerbangan LCC ini (Kompas, 3/11/2018). Kementerian Perhubungan juga akan mengevaluasi tarif batas bawah penerbangan. Kebijakan ini untuk meningkatkan manajemen keselamatan penerbangan. (YOLA SASTRA)