Transformasi Struktur Ekonomi Tidak Diimbangi Kompetensi Tenaga Kerja
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Transformasi struktur ekonomi yang terjadi tidak selaras dengan perubahan struktur tenaga kerja saat ini di Indonesia. Ketidakselarasan itu semakin menegaskan ketidaksiapan tenaga kerja Indonesia dalam menyambut revolusi industri 4.0.
Berbagai momok terkait tenaga kerja Indonesia terus bermunculan selama beberapa tahun terakhir. Pemerintah, pelaku usaha, institusi pendidikan, dan masyarakat perlu berkolaborasi agar daya saing tenaga kerja semakin tinggi dan relevan dengan kebutuhan industri.
“Keselarasan diperlukan agar tidak muncul ketimpangan antar-sektor,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Mudrajat Kuncoro di sela-sela konferensi New Industrial Relations Policy toward Industri 4.0 Era: New Challenges, New Solution di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Transformasi yang ideal adalah adanya kesesuaian komposisi antara sektor ekonomi dan jumlah tenaga kerja yang saling berkaitan. Jika sektor industri yang menjadi penyumbang terbesar, jumlah pekerja di sektor tersebut sepatutnya juga menjadi yang terbesar.
Data yang diolah FEB UGM dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi yang tidak selaras tersebut. Terdapat tiga sektor utama penyumbang produk domestik bruto (PDB) selama 2014 hingga pertengahan 2018. Ketiganya adalah industri pengolahan sebesar 19-21 persen, perdagangan besar dan eceran sebesar 12-13,5 persen, serta pertanian sebesar 13-14 persen.
Sedangkan diketahui selama 2005-2014, struktur tenaga kerja Indonesia yang mendominasi berada di sektor pertanian sebesar 34-43 persen. Sektor lain yang mengikuti adalah perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20-21 persen, jasa kemasyarakatan sebesar 11-16 persen, serta industri sebesar 11,8-13,4 persen.
Tren yang sama juga masih terlihat selama tiga tahun terakhir. “Ketidakselarasan juga terjadi karena negara belum memutuskan apakah akan fokus ke sektor industri atau jasa,” tutur Mudrajat.
Sektor industri pengolahan selama ini menjadi salah satu komoditas ekspor andalan negara. Wakil Ketua Umum DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyampaikan, untuk sektor industri, revolusi industri 4.0 membuat kebutuhan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar sesuai kebutuhan industri semakin vital.
“Sebanyak 60 persen tenaga kerja bekerja di sektor informal. Pengangguran berasal dari lulusan sekolah vokasi dan SMA,” tutur Shinta.
Apindo, sebagai pelaku industri, meminta agar dilibatkan dalam penyusunan pelatihan vokasi agar kemampuan lulusan menjadi linear dengan kebutuhan dunia usaha. Salah satu skema yang diajukan adalah terkait model pemagangan.
Dalam skema itu, pemerintah atau Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) bersama pelaku industri berdiskusi tentang kompetensi yang dibutuhkan dari seorang tenaga kerja. Hasil diskusi kemudian dikoordinasikan ke serikat pekerja dan perusahaan. Dari situ, rekrutmen dilakukan dinas terkait di kota dan kabupaten tujuan bersama dengan perusahaan.
Kontrak pemagangan kemudian dibuat oleh pemerintah dan pemagang. Setelah masa magang berakhir, pemagang akan memperoleh sertifikat. Sertifikat berfungsi sebagai referensi untuk menunjukkan pemagang telah memiliki kemampuan yang dibutuhkan industri dan siap masuk masuk pasar kerja.
Modernisasi
Direktur Persyaratan Kerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Siti Junaidah mengatakan, pemerintah telah melakukan upaya adaptasi dengan perubahan struktur tenaga kerja di era digital.
Misalnya, pemerintah mengembangkan program magang berorientasi pasar dan berbasis digital. “Kami juga memodernisasi bahan latihan kerja dan menata sistem pasar kerja untuk menjadi lebih fleksibel,” kata Siti mewakili Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Menurut Siti, dunia usaha perlu terus mengadakan dialog dengan pemerintah untuk membahas regulasi yang lebih adaptif terkait perubahan ekonomi, khususnya ekonomi digital. Namun, regulasi tersebut harus tetap mengedepankan perlindungan pekerja dan iklim investasi yang kondusif.