A Ponco Anggoro, Agnes Theodora, dan Rini Kustiasih
·3 menit baca
Para kandidat peserta Pemilu Presiden 2019 dan timnya terkesan mencari jalan mudah untuk menarik perhatian pemilih, Akibatnya, kampanye yang terjadi tidak memberi pendidikan politik yang optimal.
JAKARTA, KOMPAS - Masa kampanye Pemilu 2019 yang dimulai 23 September lalu hingga saat ini lebih diisi dengan upaya para calon presiden dan calon wakil presiden beserta timnya untuk mengeksploitasi penggunaan humor, jargon, dan metafora guna menarik perhatian masyarakat. Ironisnya, penggunaan hal itu tidak diikuti dengan penjabaran program dan rencana kerja yang detail sehingga suasana kampanye pada saat ini terjebak pada perdebatan tidak substansial.
Pengajar Komunikasi pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ambardi Kuskrido, mengatakan, kampanye yang berbasis ide atau gagasan kebijakan memang menuntut kerja keras kandidat dan timnya.
”Itu jalan yang panjang dan melelahkan, tetapi sebenarnya memuat pendidikan politik. Namun, rupanya para elite memilih cara yang mudah, tidak berbicara gagasan dan hanya mengeksploitasi penggunaan metafora, humor, serta ejekan,” ujar Kuskrido saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Namun, di balik humor, metafora, atau ejekan yang muncul, sebenarnya bisa dijadikan bahan argumentasi dan adu gagasan. Istilah tempe setipis kartu ATM yang disampaikan calon wakil presiden Sandiaga Uno, misalnya, bisa dipakai untuk mengkritisi kondisi harga bahan baku. Sementara pernyataan calon presiden petahana Joko Widodo tentang politisi sontoloyo bisa digunakan untuk mengkritisi tingkah laku sebagian politisi.
”Sebenarnya memang ada gagasan besar di balik itu semua, tetapi miskin data dan argumentasi yang runtut,” kata Kuskrido.
Para elite memilih cara yang mudah, tidak berbicara gagasan dan hanya mengeksploitasi penggunaan metafora, humor, serta ejekan
Kondisi kampanye minim gagasan itu, sayangnya, semakin diamplifikasi oleh sejumlah media massa. ”Beberapa media masih terlihat berusaha mencari aspek substantif dari kampanye dan kebijakan yang dibawa kandidat. Namun, ada juga media yang terjebak mengejar sensasi dan klik,” ujar Kuskrido.
Masa kampanye yang saat ini diisi dengan perdebatan tidak substansial, menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas, dapat mengancam kualitas demokrasi dan citra Indonesia.
”Hal yang tampak selama ini, masa kampanye dipakai untuk mengintip kelemahan atau mencari kesalahan pihak lain. Jika metode kampanye ini terus dimunculkan, sisi-sisi negatif bangsa Indonesia akan muncul, dan dunia menilai bangsa Indonesia miskin kreativitas,” katanya.
Cara kampanye seperti itu, lanjut Robikin, hanya membawa keburukan dan memperburuk proses demokratisasi di Indonesia.
”Proses demokrasi di Indonesia dijaga agar berjalan kompetitif dan beradab. Oleh karena itu, setiap pihak mesti terus mempromosikan atau menyosialisasikan karya-karya terbaiknya supaya karya tersebut bisa diduplikasi oleh segenap warga bangsa Indonesia lainnya,” urainya.
Otokritik
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Arsul Sani, mengatakan, dinamika kampanye belakangan ini menjadi otokritik bagi para kandidat dan tim suksesnya. Ia mengakui, penggunaan humor dan jargon seperti itu lebih membumi digunakan dan cepat menarik perhatian masyarakat.
”Elite masih memanfaatkan pemilih mayoritas yang tamat SD atau SMP. Dengan latar pendidikan begitu, memang paling mudah dipancing emosionalitasnya,” kata Arsul.
Elite masih memanfaatkan pemilih mayoritas yang tamat SD atau SMP. Dengan latar pendidikan begitu, memang paling mudah dipancing emosionalitasnya
Penggunaan jargon-jargon dan istilah menjual tanpa diiringi gagasan dan program kerja yang nyata, tambah Arsul, akan berusaha dikurangi ke depan.
”Jika sekarang ini memang akhirnya adakalanya tim kampanye menafsirkan sendiri (ucapan capres-cawapres), publik dan netizen juga menafsirkan sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Ahmad Muzani, mengatakan, media massa tidak memberikan cukup ruang untuk menghadirkan adu program, gagasan, visi, dan misi di antara capres-cawapres.
Selama lebih dari satu bulan masa kampanye Pemilu 2019, menurut Muzani, Prabowo dan Sandiaga ataupun timnya sudah berupaya menghadirkan gagasan dan program ke publik. Namun, hal ini sering kali tidak diwartakan secara optimal oleh media massa.
Hal yang justru kerap terjadi, program yang disampaikan itu tergantikan oleh bagian dari pidato yang tidak penting, yang sebenarnya hanya untuk mencairkan suasana supaya tidak membosankan, atau bagian dari pidato yang sifatnya hanya perumpamaan untuk menguatkan gagasan yang disampaikan.