Upaya penegakan hukum terhadap pencipta dan penyebar kabar bohong dinilai belum memadai untuk menghentikan penyebaran hoaks yang kian masif. Edukasi untuk meningkatkan literasi digital masyarakat saat ini sudah mendesak dilakukan. Kerja sama semua pihak dibutuhkan.
JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran hoaks yang semakin banyak dan masif menunjukkan Indonesia darurat penguatan literasi digital. Sebab, tingkat literasi yang masih lemah menjadi penyebab utama hoaks atau berita bohong mampu tumbuh dan berkembang. Untuk itu, diperlukan langkah yang melibatkan semua pihak untuk meningkatkan kemampuan memahami informasi di dunia maya.
Penangkapan 16 tersangka penyebar hoaks terkait kasus penculikan anak dan kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, menurut Kepala Divisi Humas Kepolisian Negara RI Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, menunjukkan sebagian masyarakat masih lemah dalam memahami manfaat media sosial.
Setyo prihatin dengan masih banyaknya masyarakat pengguna media sosial yang belum memahami internet sebagai ruang publik. Untuk itu, lanjutnya, selain melakukan proses pidana, tim kepolisian juga berupaya mengembangkan langkah-langkah edukasi kepada masyarakat.
”Mereka (penyebar hoaks) tidak menyadari media sosial seperti pisau bermata dua. Kalau digunakan untuk hal-hal positif akan menjadi baik. Namun, kalau tidak sadar dan digunakan untuk sesuatu yang negatif, pengguna akan menjadi korban,” ujar Setyo, Rabu (7/11/2018), di Jakarta.
Sebanyak 16 tersangka penyebar hoaks itu menjalani proses hukum setelah polisi melakukan penyidikan dalam dua pekan terakhir.
Dibandingkan dengan Selasa lalu, jumlah tersangka penyebar hoaks bertambah atau terdapat tiga tersangka baru. Mereka adalah AZ (21) dan NO (29), yang menyebarkan hoaks penculikan anak, serta MRZ (18) yang menjadi penyebar hoaks kecelakaan pesawat Lion Air JT-610.
Dengan demikian, saat ini total ada 13 tersangka penyebar hoaks terkait penculikan anak dan 3 tersangka penyebar hoaks terkait kecelakaan pesawat. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, selama Oktober 2018 terdapat 69 hoaks yang menyebar di media sosial dan aplikasi pesan.
Jangka panjang
Pendiri Information and Communication Technology (ICT) Watch, Donny Budi Utomo, mengemukakan, penegakan hukum yang telah dilakukan Polri untuk memberantas penyebaran hoaks merupakan praktik yang dilakukan di sisi hilir setelah kasus terjadi. Menurut dia, penegakan hukum saja belum lengkap sebab diperlukan proses antisipasi di sisi hulu, yaitu melalui peningkatan literasi publik.
Namun, Donny mengingatkan, edukasi untuk meningkatkan literasi bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Selain memakan waktu panjang, dibutuhkan pula kerja sama antarpemangku kebijakan, seperti pemerintah, organisasi kemasyarakatan, akademisi, swasta, dan komunitas.
”Namun, tidak semua sabar saat menjalani proses edukasi yang jangka panjang. Sebab, selain butuh waktu untuk dapat melihat hasilnya, juga kerap dianggap sebagai jalan sunyi,” ujar Donny.
Edukasi yang dilakukan saat ini dinilai Donny cenderung masih putus sambung. Oleh karena itu, sejumlah masyarakat sipil telah memprakarsai gerakan mandiri membangun literasi warga.
Selain Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga mulai gencar berkampanye tentang literasi keamanan siber yang menyasar generasi muda yang menjadi pengguna asli dunia maya. Juru bicara BSSN, Anton Setiawan, mengatakan, kampanye itu telah dilakukan di lima kota besar, antara lain Yogyakarta dan Denpasar (Bali).
Dalam kampanye itu, Anton mengatakan, BSSN memberikan langkah-langkah untuk memahami hadirnya informasi bohong. Ia meminta masyarakat mengutamakan klarifikasi, tak mudah curiga dan berburuk sangka, berbicara positif dan tidak mencari kesalahan orang lain, serta sabar dalam menerima informasi.