JAKARTA, KOMPAS — Lingkaran setan pembelajaran sejarah harus segera diputus pada semua level pendidikan. Sejarah merupakan faktor penting pembelajaran identitas dan kecakapan untuk membangun bangsa. Menafikan sejarah berarti membangun tanpa konsep.
"Pembelajaran sejarah berhulu pada kecakapan literasi," kata dosen program studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta Abrar ketika ditemui di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Ia menjelaskan, pembelajaran sejarah merupakan tinjauan kritis, analitis, perenungan, dan pencarian relevansi peristiwa sejarah pada konteks kejadian di masa lalu dan sekarang. Kemampuan membaca, memahami, dan merenungkan teks adalah kuncinya.
"Ini tantangan para dosen karena seridaknya dua tahun pertama kuliah berusaha mengubaj pola pemikiran mahasiswa dari penghafal menjadi pemikir," tutur Abrar.
Lingkaran pembelajaran sejarah di sekolah yang bertumpu pada menghafal kronologis tanggal kejadian dan nama tokoh terasa dampaknya di bangku kuliah. Dosen-dosen mengatakan mahasiswa sukar menangkap makna peristiwa sejarah selain dari yang teryeta di buku teks.
Bahkan, untuk meminta mahasiswa mengembangkan topik bacaan juga merupakan kendala tersendiri karena umumnya mereka terpaku kepada silabus yang diberikan oleh dosen. Padahal, setiap peristiwa sejarah harus dibahas dari berbagai sudut pandang karena setiap catatan dipengaruhi konsep, titik fokus, hingga bias dari penulisnya.
Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia misalnya. Terjadi akibat berbagai faktor seperti berakhirnya Perang Dunia II, pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh angkatan udara Amerika Serikat, dan melemahnya pertahanan Jepang di Indonesia. Pembelajaran sejarah sejatinya mengumpulkan fakta-fakta tersebut, meninjau ulang, dan menarasikannya ke dalam sebuah persepsi baru. Semua bergantung kepada pemahaman tema yang tersurat dan tersirat di dalam teks.
"Memang ada perubahan di cara mahasiswa berpikir pada akhir semester. Akan tetapi, apabila sejak dari sekolah mereka sudah dibiasakan meninjau sejarah secara kritis, capaian di saat kuliah akan lebih tajam dan mendalam," ujar Abrar.
Administratif
Di samping persoalan literasi, juga ada masalah tugas administratif yang membebani guru sejarah. Abrar yang juga Koordinator Pendidikan Profesi Guru Sejarah UNJ mengungkapkan pengalamannya memberi pelatihan kepada guru-guru sejarah. Satu guru biasanya bertanggung jawab mengajar di tiga kelas yang masing-masing bersiswa 40 orang.
"Setiap pekan ada 120 tugas siswa yang harus ia koreksi. Hal ini mengakibatkan guru tidak bisa total dalam membimbing siswa memahami konteks sejarah. Selain itu, guru sama sekali tidak memiliki waktu membaca teks-teks sejarah. Membaca artikel berita terkini saja jarang. Padahal, setiap kejadian di masa kini memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah yang sarat dengan pelajaran," ucapnya.
Walhasil, metode hafalan menjadi pilihan karena persiapannya relatif ringkas. Cara penilaian tugasnya juga lebih praktis dibandingkan metode menulis esai ataupun presentasi mendalam.
Pendampingan
Secara terpisah, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Triana Wulandari mengatakan mulai ada perubahan positif terkait mutu guru sejarah. Dulu, guru-guru sejarah bukan dari latar belakang ilmu tersebut, melainkan guru-guru pelajaran lain yang dikaryakan karena sekolah tidak memiliki cukup guru sejarah.
Adanya Undang-Undang Guru dan Dosen mewajibkan guru harus memiliki kompetensi linier dengan mata pelajaran yang dia ampu. Hal ini membuat guru-guru mengambil kuliah S1 di bidang sejarah guna memastikan mereka memenuhi syarat mendapat tunjangan sertifikasi.
"Khusus untuk mwtode pembelajaran, Direktorat Sejarah baru meluncurkan panduan pendidikan karakter melalui sejarah. Metode ini mengharuskan pembelajaran sejarah yang aktif dan kontekstual," papar Triana.
Direktorat secara rutin juga memberi pengayaan dengan cara bekerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah yaitu selalu melibatkan mereka di setiap kegiatan dan seminar kesejarahan.