JAKARTA, KOMPAS — Penanganan sampah Jakarta dari hulu melalui pemilahan sampah rumah tangga dirasa semakin mendesak. Untuk itu, warga didorong agar mulai memanfaatkan sampah rumah tangga sebagai salah satu sumber penghasilan tambahan.
Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup (LH) Jakarta Barat Edy Mulyanto mengatakan, warga Jakarta tidak boleh lagi bergantung pada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang sebagai satu-satunya fasilitas pengolahan. ”Sudah saatnya warga harus mengolah sampah rumah tangga secara mandiri agar beban TPST Bantargebang dapat dikurangi,” ujarnya, Rabu (7/11/2018).
Sesuai data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, rata-rata volume sampah dari DKI Jakarta yang masuk TPST Bantargebang sebanyak 6.850 ton per hari. Sebanyak 1.300 ton atau 19 persen dari jumlah itu berasal dari Jakarta Barat.
Edy mengatakan, sebagai percontohan, Dinas LH Jakarta Barat membangun sejumlah fasilitas pengolahan sampah rumah tangga. Fasilitas pengolahan itu berada di kompleks Rumah Susun (Rusun) Kebersihan Bambu Larangan, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.
Kompleks rusun itu terbagi ke dalam dua blok dan menjadi tempat tinggal bagi 200 keluarga pekerja Dinas LH Jakarta Barat. ”Pekerja Dinas LH harus menjadi contoh bagi warga lain bahwa pengolahan sampah rumah tangga itu dapat dilakukan secara mandiri,” kata Edy.
Saat ini, di kompleks tersebut tersedia tiga fasilitas pengolahan sampah, yaitu bank sampah induk, bank kompos induk, dan instalasi pengolahan air limbah. ”Tempat pengolahan bahan berbahaya dan beracun sedang dalam proses pembangunan,” ujar Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan dan Kebersihan Dinas LH Jakarta Barat Kamin.
Upaya memutus mata rantai sengkarut pengolahan sampah di hulu tersebut dirasakan manfaatnya oleh warga. Deni (52), warga Blok B Rusun Kebersihan Bambu Larangan, menyatakan, ketiga fasilitas pengolahan tersebut membuat lingkungan sekitar jauh lebih bersih.
Dalam sehari, bank sampah induk di tempat itu dapat menghasilkan 10 ton sampah daur ulang senilai Rp 15 juta. ”Warga pasti bersedia bekerja sama selama pemerintah setia mendampingi jalannya program itu,” kata Deni.
Tantangan
Edy menyadari tantangan replikasi program pengolahan sampah di tempat lain kemungkinan akan lebih besar. ”Di sini aktivitas warga memang lebih mudah terpantau karena merupakan bagian dari Dinas LH Jakarta Barat,” ujarnya.
Meskipun begitu, Edy tetap optimistis program itu dapat direplikasi di sejumlah tempat lain selama ada upaya edukasi yang terstruktur dengan baik. Ia mencontohkan, keberhasilan warga Rusun Kebersihan Bambu Larangan mengeruk manfaat ekonomi dari sampah rumah tangga menarik warga kelurahan lain untuk datang dan menyetorkan sampahnya di bank sampah induk.
”Yang datang enggak hanya warga rusun. Banyak juga warga kelurahan sekitar yang datang menjual sampah ke bank sampah induk,” kata seorang warga Blok A Rusun Kebersihan Bambu Larangan, Ujang (56). Ia mengatakan, uang hasil pengolahan sampah itu dimanfaatkan warga secara swadaya untuk memperbaiki dan menambah fasilitas komunal di rusun tersebut.
Menurut Edy, saat ini yang perlu didorong adalah pengolahan sampah organik. Berbeda dengan sampah anorganik yang pengolahannya lebih mudah dan manfaat ekonominya cepat terasa, sampah organik perlu proses pengolahan yang lebih lama dan teliti.
”Di rusun ini, kami menyediakan tiga tong komposer di setiap lantai dan dua plastik bagi setiap keluarga dalam satu hari untuk mengumpulkan sampah organik,” ujar Edy. Ia berharap, hal itu akan memudahkan warga untuk mulai mengolah sampah organik. (PANDU WIYOGA)