Pembangunan Kembali Palu Didasarkan Mitigasi Bencana
Oleh
Ahmad Arif / Angger Putranto
·3 menit baca
PALU, KOMPAS – Perubahan tata ruang Sulawesi Tengah dipastikan akan berdasarkan risiko bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi. Saat ini tengah dilakukan kajian ilmiah untuk memetakan kawasan yang masih bisa dihuni dan harus dikosongkan.
Demikian disampaikan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola dalam seminar di Kota Palu, Rabu (7/11). “Perubahan tata ruang ini meliputi Palu, Donggala, Sigi,” kata dia.
Menurut Longki, salah satu hasil kajian yang paling dibutuhkan adalah survei geologi tentang daerah berpotensi likeufaksi. “Pemetaannya akan selesai pada November 2018 ini. Akan beberapa kategori. Ada yang masih bisa dihuni lagi, namun pasti akan ada yang harus direlokasi. Butuh ketegasan bupati dan walikota untuk menyiapkan peraturan daerahnya,” kata dia.
Longki mengakui, walaupun kerentanan Palu terhadap gempa bumi sudah lama diketahui, namun kebanyakan masyarakat tidak mengira akan terjadi sebesar saat ini.
Walaupun kerentanan Palu terhadap gempa bumi sudah lama diketahui, namun kebanyakan masyarakat tidak mengira akan terjadi sebesar saat ini.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono, yang juga menjadi pembicara, mengatakan, untuk gempa bumi sebenarnya bisa dimitigasi dengan bangunan tahan gempa. Namun, untuk likuefaksi sampai saat ini masih sulit dimitigasi.
Pendidikan bencana
Pengajar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tadulako (Untad) Abdullah, yang menjadi pembicara dalam seminar itu, mengingatkan pentingnya pendidikan bencana ke masyarakat. Menurut dia, kejadian bencana dan tsunami sudah berulang terjadi, namun respon masyarakat menunjukkan belum siap, termasuk kejadian terakhir.
Dia juga mengatakan, sistem peringatan dini tsunami BMKG tidak sesuai dengan karakter tsunami di Kota Palu. "Tsunami sudah tiba kurang dari tiga menit, sedangkan BMKG baru menyampaikan enam menit setelah gempa. Jadi, kalau menunggu tidak bisa menyelamatkan diri," kata dia.
Sebelumnya, survei yang dilakukan para peneliti yang tergabung Operasi Bakti Teknologi Sulawesi Tengah pada tanggal 3 - 23 Oktober 2018 menemukan, kebanyakan penyintas tsunami tidak memiliki pengetahuan untuk menyelamatkan diri karena minimnya pendidikan bencana.
Kebanyakan penyintas tsunami tidak memiliki pengetahuan untuk menyelamatkan diri karena minimnya pendidikan bencana.
"Dari wawancara selama survei, masyarakat mengaku umumnya masyarakat panik karena sebelumnya tidak mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Mereka tidak tahu risiko gempa dan tsunami dan tidak tahu harus ke mana. Tidak pernah ada pelatihan. Kalaupun ada, masih seremonial," kata peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko yang terlibat dalam survei ini.
Menurut Widjo, tinggi tsunami maksimum yang ditemukan dalam survei mencapai 7 meter (m) sedangkan rambatan di daratan ada yang mencapai 9 m, tergantung topografi. "Untuk kekuatan gempa kali ini sebesar M 7,4 kemungkinan sudah maksimal, namun untuk tsunami bisa lebih besar lagi. Parameter tsunami di Palu sangat kompleks karena adanya faktor longsor bawah laut," kata dia.
Menurut Widjo, sumber tsunami di Palu bisa dari berbagai sumber lain, termasuk juga dari zona subduksi dan juga sesar naik di barat Palu. Sementara itu, ahli gempa bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman mengatakan, dari dua segmen gempa di sesar Palukoro yang runtuh dalam gempa kali ini, masih ada satu segmen yang belum sepenuhnya lepas.
"Untuk segmen Palu ke utara sudah lepas semua, namun segmen Saluki yang berada di Palu ke arah selatan, baru sepertiga yang lepas. Dari perhitungan, potensinya masih bisa mencapai M 7. Masih bisa gempa besar lagi. Bisa mentriger gempa lain. Kalau Palu sudah lepas semua. Saluki, kurang dari sepertiganya yang lepas. Masih bisa M 7 lebih, ke arah Kulawi," katanya.