SUKABUMI, KOMPAS – Pemberdayaan ekonomi menjadi kunci untuk melindungi perempuan di daerah kantong pekerja migran sehingga tidak berangkat ke luar negeri menjadi tenaga kerja Indonesia. Pilihan perempuan menjadi pekerja migran dengan meninggalkan keluarga, selain berdampak besar bagi keluarga terutama bagi tumbuh kembang anak-anak, juga berisiko membuat perempuan mendapatkan masalah di luar negeri.
Salah satu daerah kantong perempuan pekerja migran atau tenaga kerja wanita adalah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Seorang ibu rumah tangga yang pernah 12 tahun bekerja di Arab Saudi dan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Yuyu Murliah, mendirikan Rumah Sahabat Ibu dan Anak (Rusaida) di Kecamatan Cisaat untuk memberdayakan perempuan, terutama di kecamatan tersebut. Pendirian pusat krisis perempuan dan pusat kreatif perempuan ini mendapat mendapat dukungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
“Inovasi mendirikan Rusaida belum ada di daerah lain di Indonesia. Ini bisa dipakai sebagai model di daerah lain,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise ketika meresmikan Rusaida, Rabu (7/11/2018).
Rusaida yang baru pertama ada di Indonesia, berfungsi sebagai pusat krisis perempuan dan pusat kreatif perempuan. Kegiatannya, selain menghapus kekerasan terhadap perempuan, juga memberdayakan perempuan-perempuan pekerja migran yang pulang ke Sukabumi dengan membawa berbagai persoalan.
“Inovasi mendirikan Rusaida belum ada di daerah lain di Indonesia. Ini bisa dipakai sebagai model di daerah lain,” ujar Yohana.
Sebelum menjadi Rusaida, tempat tersebut sejak 2013 telah pusat krisis perempuan yang mendampingi perempuan-perempuan pekerja migran yang kembali ke Sukabumi. Sukabumi merupakan salah satu kantong pekerja migran perempuan.
Di Rusaida, selain menyediakan rumah ramah anak, rumah konseling keluarga, dan rumah yatim piatu, juga menjadi tempat pemberdayaan ekonomi bagi perempuan melalui pertanian, termasuk membuat kerajinan dari limbah. Sejumlah pekerja migran korban perdagangan orang juga didampingi.
“Selain mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, program prioritas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah akhiri Tindak Pidana Perdagangan Orang yang perempuan dan anak adalah korban. Pasti di Sukabumi ada kasus seperti itu,” kata Yohana.
Menurut Yohana, beberapa waktu lalu dia berkunjung ke Arab Saudi melihat kondisi perempuan pekerja migran Indonesia dan bertemu Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi. Ketika itu Yohana menegaskan bahwa Indonesia menyatakan moratorium pengiriman perempuan pekerja migran untuk pekerja rumah tangga.
Bupati Sukabumi, Marwan Hamami, Kabupaten Sukabumi mengakui sebagai salah satu daerah kantong perempuan pekerja migran atau tenaga kerja wanita, ada banyak masalah yang dihadapi terkait perempuan dan anak. “Moratorium harus diteruskan, supaya kami bisa terus memberikan penguatan pada perempuan di Sukabumi lewat berbagai program,” ujarnya.
Masalah kesehatan
Marwan menyatakan selain persoalan perempuan dan anak, Sukabumi saat ini mengalami masalah kesehatan, antara lain di 47 kecamatan sejumlah warga sudah terindikasi penyakit HIV/AIDS, bahkan anak-anak banyak yang terikat dalam pergaulan sesama jenis. Menurut Marwan, hal itu terjadi antara lain karena ibunya bekerja dan tidak berada di rumah dalam waktu yang lama, sehingga pengasuhan anak terabaikan.
“Selain mengembangkan potensi sumber daya alam, pemberdayaan perempuan terus kami kami intensifkan terutama di lingkungan Geopark Ciletuh Pelabuhan Ratu,” ujarnya.
Yuyu menyatakan, sebagai penyintas KDRT dia tergerak untuk membantu perempuan-perempuan di daerahnya yang menjadi korban KDRT, maupun korban saat menjadi pekerja migran di luar negeri. Karena itu, ketika pulang dari Arab Saudi tahun 2013 dia berkolaborasi dengan pemerintah setempat untuk membantu perempuan pekerja migran yang bermasalah.
“Di Rusaida kami bekerja untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, menghapuskan tindak pidana perdagangan orang. Kami melihat sendiri, ketika tinggal 12 tahun di Arab Saudi bagaimana teman-teman TKW diperlakukan. Kami bekerja juga untuk mengakhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan,” ujarnya.
Menurut Yuyu, motivasinya mendirikan pusat krisis perempuan selain karena dirinya menjadi penyintas KDRT, dia juga melihat betapa banyaknya perempuan di daerahnya yang menjadi pekerja migran dan pulang dengan berbagai persoalan. “Di satu desa ada yang punya 90 kepala keluarga, sebanyak 70 di antaranya (ada anggota keluarganya) menjadi TKW. Ada yang pulang membawa masalah, karena disiksa, atau membawa pulang anak setelah diperkosa majikan, ada banyak masalah,” katanya.
Selain meresmikan Rusaida, Yohana juga memberikan penguatan kepada sejumlah perempuan yang menjadi calon legislatif dari Sukabumi. Ia mendorong perempuan untuk berjuang supaya lolos menjadi wakil rakyat, karena hingga kini kuota 30 persen perempuan dalam legislatif belum tercapai. Yohana, juga sempat bertemu para perempuan lanjut usia di Kecamatan Cisaat, yang selama ini menjaga cucunya karena orangtuanya menjadi pekerja migran.