Reformasi Birokrasi Belum Optimal
Perizinan menjadi salah satu sumber korupsi di birokrasi. Guna mengatasi hal ini, dibutuhkan pembenahan kultural dan struktural, terutama di dalam birokrasi.
JAKARTA, KOMPAS - Terobosan dibutuhkan untuk mengoptimalkan reformasi birokrasi yang kini tengah berlangsung. Guna mewujudkan birokrasi yang cepat, bersih, dan inovatif, dibutuhkan penggabungan antara orientasi hasil dan prosedur.
Orientasi hasil yang banyak dianut pengusaha, membuat mereka, antara lain berharap proses perizinan dilakukan dengan cepat. Sementara birokrasi yang umumnya berorientasi prosedur, berpendapat harus ada tahapan untuk mengeluarkan izin.
“Dengan mensinergikan dua orientasi ini, upaya perbaikan pelayanan bisa terwujud, birokrasi menjadi lebih efisien dan bersih. Mengapa terjadi banyak kasus di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), karena perbedaan sikap antara pengusaha dan birokrasi,” tutur wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka The International Public Service Forum 2018 di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Hadir dalam acara bertema “Expanding and Improving Service Delivery Through Collaborative Action” ini, antara lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, serta sejumlah kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Masalah perizinan, menjadi salah satu sebab yang membuat kepala daerah dan sejumlah birokrat diproses hukum karena korupsi. Hal itu antara lain terlihat dari ditetapkannya Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hassanah Yasin. Selain itu, empat anggota DPRD Kalimantan Tengah juga telah ditetapkan sebagai tersangka suap kasus pembuangan limbah pengolahan kelapa sawit.
Kasus suap tak hanya terjadi dalam perizinan dengan jumlah suap yang mencapai miliaran rupiah. Namun juga di bidang lain, seperti pungutan liar dalam pelayanan publik. Data Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) periode 28 Oktober 2016 hingga 15 Oktober 2018, setidaknya ada 36.427 aduan pungli. Pungli ini umumnya terjadi dalam bidang pelayanan publik (52 persen), di sektor pendidikan (20 persen), hokum (8 persen), perizinan (5 persen), kepegawaian (5 persen), serta pengadaan barang dan jasa (5 persen) dan bidang lainnya (5 persen).
Belum optimal
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi Syafruddin mengaku, reformasi birokrasi memang belum berjalan sempurna. Hal ini terutama setelah melihat banyaknya temuan Saber Pungli.
“Kalau masih ditemukan (pungli) justru, kan, tidak sempurna to? Belum ada yang sempurna. Itu harus menjadi stimultan antara upaya yang dilakukan dan hasil yang masih kurang. Jadi harus ada pertemuannya di situ,” katanya.
Syafruddin pun menegaskan, pentingnya bagi birokrasi untuk tetap menjaga komitmen bersih dari korupsi. “Harus terus ada pencegahan, penindakan, jika yang kita inginkan adalah kemajuan,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Eko Prasodjo menjelaskan, relasi birokrasi dan swasta sangat tergantung pada struktur dan kultur dalam birokrasi itu sendiri. Kalau struktur dan kultur sudah terbentuk dalam birokrasi telah terbentuk, maka swasta akan mengikuti.
“Nah, terjadinya kasus-kasus korupsi yang selama ini melibatkan swasta, karena terbuka peluang dari birokrasi,” ujarnya.
Setidaknya ada tiga masalah dalam reformasi birokrasi. Masalah itu adalah kultur budaya antikorupsi yang belum mengakar hingga tingkatan daerah, relasi dalam birokrasi yang kerap diintervensi politik, dan belum ada keberlanjutan program inovasi dari setiap kepala daerah.
“Perlu ada perubahan radikal apabila kita ingin reformasi birokrasi ini terus berjalan secara serius dan komprehensif. Pembenahan tidak cukup secara struktural, tetapi juga kultural dan itu butuh waktu panjang,” kata Eko.
Perlu ada perubahan radikal apabila kita ingin reformasi birokrasi ini terus berjalan secara serius dan komprehensif. Pembenahan tidak cukup secara struktural, tetapi juga kultural dan itu butuh waktu panjang
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif berharap, semua pihak termasuk sektor swasta untuk menjalankan bisnis secara berintegritas dan mengikuti peraturan yang ada dalam mengurus semua perizinan dengan menghindari praktik suap. Perilaku suap dari pihak swasta ini juga berkelindan dengan birokrasi perizinan yang rumit dan memakan waktu lama.
KPK memiliki aplikasi JAGA yang berguna untuk membantu masyarakat dalam mengontrol dan meningkatkan pelayanan publik, termasuk memantau perizinan yang diajukan.
“Kami sudah ingatkan terus menerus. Tim juga turun ke lapangan untuk memonitor. Untuk itu, perubahan sikap kerja dan aturan ini yang perlu sungguh-sungguh ditindaklanjuti oleh birokrasi, termasuk dengan mengoptimalkan pelayanan terpadu satu pintu yang sudah ada. Bahkan jika ada pengurusan perizinan online akan jauh lebih efektif,” kata Laode.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Hifdzil Alim berpendapat senada. Menurutnya, tumpang tindihnya regulasi yang mengatur kewenangan perizinan dan masih adanya instansi teknis yang belum melimpahkan kewenangan menerbitkan izin pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) menjadi praktik suap di sektor perizinan sulit ditekan. Terlebih lagi, apabila komitmen dari kepala daerah juga minim.
“Karena banyak kepala daerah yang pada akhirnya memanfaatkan pungutan dari pengurusan izin ini, mislanya untuk mengembalikan modal saat Pilkada. Apalagi di daerah yang terindikasi memelihara dinasti politik, sektor perizinan menjadi lahan untuk memperoleh keuntungan. Di sisi lain, masyarakat belum menyadari pentingnya pengawasan dan tidak dilibatkan langsung,” kata Hifdzil.