Sinergi Lintas Sektor Tentukan Mutu Tenaga Kerja
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menciptakan tenaga kerja yang cakap dan berdaya tak hanya cukup bertumpu pada satu sektor semata. Sinergi lintas sektor sangat menentukan, mulai dari fase pendidikan di persekolahan hingga pembekalan di luar sekolah melalui balai latihan kerja.
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, revitalisasi balai latihan kerja (BLK) saat ini sangat penting dilakukan untuk memacu daya saing dan produktivitas tenaga kerja Indonesia.
"Ini sejalan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), di mana pelatihan vokasi termasuk di dalamnya," kata Andy di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Menurut catatan Labor Institute Indonesia, jumlah BLK yang dimiliki Kementerian Ketenagakerjaan relatif kecil, yakni hanya 18 BLK dari total sekitar 300 BLK di Indonesia. "Kemenaker perlu menambah jumlahnya BLK menjadi 33 dengan Tipe A," katanya.
Andy mengatakan, BLK yang dikelola pemerintah daerah banyak telantar. Sejumlah BLK tertinggal dari sisi infrastruktur dan sehingga tak sesuai perkembangan teknologi khususnya menghadapi revolusi industri 4.0.
Menurut Andy BLK yang peduli untuk menciptakan usaha rintisan terhadap angkatan kerja muda perlu ditingkatkan. Apalagi, merujuk Asian Productivity Organization (APO), produktivitas pekerja Indonesia berada di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia. "Untuk mempermudah koordinasi, sebaiknya BLK milik pemerintah pusat dan daerah disatukan saja di bawah Lembaga Produktivitas Nasional dengan bertanggung jawab langsung kepada Presiden," usul Andy.
Isu daya saing tenaga kerja juga mengemuka pada acara 5th Indonesia Industrial Relations Conference yang bertema "The Alignment of New Industrial Relations Policy toward Industry 4.0 Era". Acara tersebut dihelat oleh Apindo Training Center, Rabu (7/11) di Jakarta.
Dalam forum itu, Direktur Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Siti Djunaedah, menegaskan penyiapan tenaga kerja terampil sebagai tantangan terbesar yang harus dihadapi dan dimitigasi secara tepat, untuk menghadapi tantangan ekonomi digital. Kemnaker, melakukan langkah-langkah strategis guna memperkuat akses pelatihan kerja. "Pertama, melalui modernisasi balai latihan kerja atau BLK dengan program revitalisasi, re-branding, dan reorientasi," kata Djunaedah.
Kedua, pengembangan program magang yang mengacu pada kebutuhan pasar kerja berbasis teknologi digital dan didukung kurikulum sesuai standar kompetensi kerja nasional Indonesia. Ketiga, penataan sistem pasar kerja melalui kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, komite vokasi nasional telah merumuskan transformasi pasar tenaga kerja yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya kemitraan tripartit antara pemerintah, pemberi kerja, dan serikat pekerja. "Kemitraan ini memastikan semua pihak punya tanggung jawab yang sama dalam permasalahan tersebut," kata Shinta.
Menurut Shinta peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM) diperlukan agar Indonesia mampu memetik manfaat dari bonus demografi. Tanpa SDM yang berkualitas dan berdaya saing kuat, bonus demografi dikhawatirkan justru menjadi liabilitas.
Faktor pendidikan
Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami menyatakan, pendidikan punya kontribusi dalam meningkatkan mutu dan daya saing bangsa.
"Pendidikan punya kontribusi penting dalam meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Salah satunya dalam penyediaan tenaga kerja berkualitas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional," katanya.
Untuk itu, harus dipastikan alokasi anggaran pendidikan memang difokuskan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, sampai saat ini fokus penggunaan anggaran masih lebih banyak difokuskan untuk mencapai target akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Investasi SDM, salah satunya melalui pendidikan harus serius. Sebab daya saing SDM Indonesia di tingkat global masih tertinggal. Dari indeks sumber daya manusia atau Human Capital Index 2018 yang dirilis Bank Dunia pada Pertemuan Tahunan IMF - Bank Dunia 2018 di Bali, daya saing sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-87 dari 187 negara di angka 0,53 dari skala 1.
Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga. Filipina memiliki HCI 0,55, Thailand (0,60), Malaysia (0,62), dan Vietnam (0,67). Adapun HCI tertinggi diraih Singapura (0,88), disusul Jepang dan Korea Selatan (masing-masing 0,84).
Amich mengatakan, untuk menyediakan layanan pendidikan bagi penduduk dalam jumlah besar ditambah kondisi geografis dengan masih banyak daerah 3T, tentu tidak mudah. Komitmen anggaran pendidikan minimal 20 persen mampu meningkatkan akses pendidikan. Indikator kemajuan terlihat dari mulai bergesernya target wajib belajar sembilan tahun (SMP) ke 12 tahun (SMA/SMK). Ada harapan peningkatan kompetensi pekerja dari yang tadinya sebagian besar SMP ke bawah, dengan intervensi meningkat ke menengah dan tinggi.
Meskipun akses pendidikan terus membaik, namun angka putus sekolah atau tidak melanjut juga masih terjadi. Hal ini terjadi mulai dari tingkat SD dan seterusnya, yang dapat menjadi ancaman bagi penambahan jumlah pengangguran ataupun pekerja tidak terampil.
Anak tidak sekolah
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kemdikbud, Harris Iskandar mengatakan berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), jumlah anak tidak sekolah (ATS) seluruh Indonesia 4,1 juta orang.
Kemdikbud baru menjangkau 113.000 orang untuk diajak kembali ke sekolah formal maupun pendidikan kesetaraan, serta program kursus keterampilan/wirausaha. "Mungkin kalau Kementerian Tenaga Kerja lebih banyak lagi karena memang salah satu tugas utamanya. Juga mestinya Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Perindustrian," ujar Harris.
Menurut Harris, Kemdikbud bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah ATS. "Kami menawarkan kembali ke sekolah formal. Jika tidak berkenan, ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Jika tidak minat juga, kami tawarkan program kursus dan pelatihan," jelas Harris.
Bagi ATS yang menganggur dan dari keluarga kurang mampu, jelas Harris, menjadi sasaran program kecakapan kerja (PKK) dan program kecakapan wirausaha (PKW). Tahun 2018, peserta PKK sebanyak 65.000 orang, sedangkan PKW 47.000 orang. Ditambah peserta magang di industri 1.000 orang.
Amich mengatakan untuk mengoptimalkan kontribusi pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang handal, strategi yang harus ditempuh utamanya meningkatkan efektivitas investasi untuk SDM. "Harus dilakukan peninjauan menyeluruh atas efektivitas pemanfaatan anggaran 20 persen untuk pendidikan itu.
Harus dipastikan anggaran 20 persen dibelanjakan untuk kepentingan peningkatan kualitas pendidikan, bukan mengongkosi organisasi dan personel (gaji pegawai) dan operasional kantor," ujar Amich.
Menurut Amich, perlu ada reformasi neraca anggaran pendidikan di pusat dan daerah. Sebab, inefisiensi masih kerap terjadi, salah alokasi, juga alokasi anggaran tidak sesuai peruntukan hal-hal prioritas yang tekait pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan.
Pendidikan bermutu yang diharapkan saat ini mampu menyiapkan generasi muda yang kreatif dan inovatif, berpikir kritis, berpikir tingkat tinggi, berkomunikasi, dan berkolaborasi. Pendidikan harus menjamin kecakapan dasar harus dikuasai untuk mendukung pencapaian kompetensi lainnya yang dibutuhkan untuk menjadi pembelajar sepanjqng hayat, pun ketika sudah masuk dalam dunia profesional.
Namun, dalam Laporan Garis Acuan (Baseline) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tujuan Ke-4 tentang pendidikan berkualitas yang disiapkan Kemendikbud dengan The United Nations International Children\'s Emergency Fund (UNICEF) pada Senin (5/11/2018), terlihat hasil mutu pendidikan yang masih rendah. Hal ini tentunya juga berkontribusi pada kondisi SDM, termasuk tenaga kerjq yang kualitasnya belum seperti yang diharapkan.
Dari indikator mutu yang dipakai untuk memastikan pendidikan berkualitas yang jadi tujuan DDGs tercapai, yakni kecakapan membaca dan matematika bagi siswa SD dan SMP, secara umum belum mencapai kompetensi minimal. Mengacu data Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dilakukan Kemendikbud tahun 2016, kemampun membaca minimum siswa kelas 4 SD baru dirih 53,2 persen siswa. Adapun Matematika baru 22,9 persen siswa.
Di tingkat SMP kompetensi membaca minimum pada tahun 2015 baru dicapai 45 persen siswa. Adapun Matematika baru dicapai 32 persen siswa.
Sementara di tingkat pendidikan tinggi, bukan hanya akses yang masih rendah. Sebagian besar dari sekutar 4.000 perguruan tinggi di Tanah Air masih terakreditasi C. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi pun ikut menyumbang penggangur.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta perguruan tinggi memutakhirkan kompetwnsi lulusan sesuai tuntutan revolusi industri 4.0, seperti literasi digital, literasi dan analisis big data, dan literasi humanisme. Termasuk pula perguruan tinggi membuka program studi kekinian.
"Pendidikan tinggi jadi salah satu indikator penting dalam menghitung indeks daya saing bangsa. Karena itu, fokus pada mutu dan relevansi kini memang harus diutamakan," kata Nasir.