JAKARTA, KOMPAS – Pemilihan Umum 2019 yang diprediksi semakin ketat membuat strategi kampanye bergeser dari pendekatan berbasis massa menjadi personal. Di masa kampanye ini, beberapa calon anggota DPR memanfaatkan dan mengolah data masif pengguna media sosial. Dengan metode kampanye itu, penyampaian pesan kampanye ke pemilih diyakini lebih personal, terarah, dan efektif.
Salah satu partai politik yang mulai menerapkan strategi ini di Pemilihan Umum 2019 adalah Partai Golkar. Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Teknis Partai Golkar di Jakarta, 20 Oktober 2018 lalu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan, Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Golkar sedang mengkaji metode baru dalam kampanye politik, yaitu microtargeting atau penargetan spesifik.
Kampanye microtargeting adalah pemanfaatan data bervolume masif (big data) yang tersebar di media sosial, yang diklasifikasi dan diolah untuk membaca dan menganalisis perilaku pengguna media sosial yang ditarget. Data mentah yang didapat dari media sosial itu diolah dan dianalisa, lalu digunakan untuk menyusun strategi kampanye politik yang efektif dan lebih spesifik sasarannya.
Sejumlah caleg Golkar menerapkan strategi kampanye itu. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, ia sudah memulai pengolahan data media sosial itu sejak tahun lalu. Ia membeli data mentah masyarakat pengguna Facebook dan Instagram di daerah pemilihannya di Jawa Tengah VII, dengan kisaran harga Rp 20 juta, dari penyedia jasa konsultan pengolahan data.
Data masyarakat pengguna media sosial yang ada di dapilnya itu dianalisis dan diklasifikasi. Dari total 743.894 pemilih sementara di Kabupaten Purbalingga, Bambang mengumpulkan 900.000 data pengguna media sosial. “Ada data-data yang ganda, karena ada satu orang yang punya dua akun Facebook atau Instagram,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (8/11/2018).
Dari hasil klasifikasi dan analisis terhadap data media sosial itu, Bambang kini memiliki pemetaan pemilih potensial di dapilnya. Status, foto, dan aktivitas lain di media sosial menunjukkan preferensi politik serta kondisi sosial maupun psikologis pemilih. Hal itu mempermudah Bambang dan tim medsosnya untuk merumuskan strategi pendekatan kampanye yang lebih personal ke masing-masing orang.
“Kelompok pemilih yang sering memasang foto dengan keluarga, kami ajak berbicara soal anak, keluarga. Kalau postingan medsosnya banyak foto gagah-gagahan, setiap hari kami beri pesan motivasi soal kepemimpinan. Setiap hari, tim kami berinteraksi dengan mereka di dunia maya. Tahap berikutnya adalah kopi darat dan kampanye door to door secara langsung,” kata Bambang.
Berbiaya Mahal
Anggota DPR lain dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, sedang mempertimbangkan menggunakan strategi tersebut. Ia mengatakan, sudah didekati oleh sejumlah perusahaan penyedia jasa konsultan pengolahan data masif. Namun, Taufiqulhadi masih mempertimbangkan beberapa hal, salah satunya biaya yang cukup mahal.
Taufiqulhadi menuturkan, salah satu penyedia jasa menawarkan paket penyediaan, pengolahan dan analisis data, hingga perumusan strategi kampanye, dengan harga Rp 700 juta.
“Saya masih menjajaki, karena operatornya menawarkan jasa dengan biaya yang cukup besar. Beberapa teman anggota DPR saya dengar sudah pakai jasa itu, tetapi saya masih pikir-pikir. Siapa tahu bisa sama efektifnya kalau pakai cara biasa, lebih murah, seperti berkeliling dapil dari rumah ke rumah konstituen,” katanya.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon, yang di Pemilu 2019 maju kembali dari daerah pemilihan Jawa Barat V (Kabupaten Bogor), menilai wajar jika banyak caleg memanfaatkan data di media sosial guna menyusun strategi kampanye. Sebab, dari data itu, caleg bisa mempelajari perilaku calon pemilih, sehingga konten kampanye yang disampaikan ke pemilih lebih fokus.
Meski demikian, ia mengaku tidak tertarik dengan pemanfaatan data media sosial. Ia memilih berinteraksi langsung dengan masyarakat di dapilnya, menyerap aspirasi mereka, dan langsung menyampaikan programnya. Apalagi, selama menjadi anggota DPR, dia mengaku rutin berinteraksi dengan masyarakat di dapil. Karena sudah tahu persoalan mereka, ia dapat menerapkan strategi kampanye yang tepat.
“Data dari media sosial itu memang membantu, tetapi lebih efektif jika turun langsung ke masyarakat,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Charta Politik Yunarto Wijaya menilai, tren peningkatan pemanfaatan data di medsos terjadi karena dengan data tersebut, caleg dimudahkan dalam memetakan perilaku calon pemilih di dapil-nya. Ini termasuk preferensi pilihan mereka dan isu-isu yang menjadi perhatian mereka.
Dari sana, caleg bisa tahu daerah-daerah di dapil yang perlu dijaga suaranya atau didekati lebih intens guna meraup suara. “Caleg bisa tahu pesan apa yang harus dibawa saat kampanye di daerah tertentu atau bahkan saat hendak memasang spanduk, pesan apa yang tepat untuk disampaikan,” katanya.
Hanya saja menurutnya, pemanfaatan data medsos itu jauh lebih efektif bagi caleg yang berkontestasi di daerah perkotaan, berhubung pengguna medsos di perkotaan lebih tinggi. Selain itu, pendekatan itu baru efektif jika caleg ingin menyasar calon pemilih muda yang intensitas penggunaan media sosialnya memang tinggi.