JAKARTA, KOMPAS — Pembuatan peta pembangunan daerah mulai tingkat kabupaten/kota hingga provinsi tidak bisa lagi ditunggu. Penyiapan sumber daya manusia berkualitas, terutama melalui pendidikan vokasi bertumpu kepada peta tersebut.
Hal itu mengemuka dalam diskusi "Mencari Strategi Pendidikan Vokasi yang Selaras dengan Arah Pembangunan Ekonomi Indonesia" kerja sama Harian Kompas dengan Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta, Kamis (8/11/2018). Diskusi ini membedah permasalahan pendidikan vokasi, yaitu tingkat SMK, politeknik, dan balai latihan kerja (BLK) yang belum memberi perubahan signifikan dalam konteks menghasilkan tenaga kerja terampil sesuai kebutuhan industri.
"Isu pendidikan vokasi dan ketenagakerjaan sangat penting dalam membangun perekonomian bangsa. Semestinya isu ini juga dibahas dalam kontestasi pemilihan presiden," kata Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Diskusi membahas hasil penelitian Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P Lipi) yang mengungkapkan bahwa jurusan di SMK masih banyak yang berkutat di sektor jenuh seperti administrasi perkantoran. Padahal, ada kebutuhan besar di sektor-sektor lain.
Berdasarkan data Direktoran Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terungkap ada kebutuhan 638.652 tenaga kerja di bidang teknologi dan rekayasa baru terpenuhi 193.605 orang. Sementara di bidang teknologi informasi dan komunikasi SMK baru memberi 277.545 siswa, padahal kebutuhan tenaganya ada 327.813.
"Selain itu, ada permasalahan pada materi yang diajar di SMK. Penelitian Lipi mengungkapkan bahwa bahwa ilmu yang dimiliki oleh lulusan SMK menjadi kadaluarsa setelah 7 hingga 8 tahun bekerja di industri," ujar peneliti P2P Lipi Makmuri Sukarno.
Artinya, keterampilan yang diajar tidak bersifat pengembangan ilmu. Hanya terpaku kepada keterampilan yang dibutuhkan pada masa kini dan akan segera ditinggalkan dengan kemajuan teknologi yang pesat di era disrupsi.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa 60 persen lulusan SMK tidak bekerja sesuai dengaj jurusan yang mereka pelajari. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan lapangan kerja di daerah. Perusahaan-perusahaan mumpuni umumnya hanya menerima lulusan dari SMK yang sudah terkenal dan bermutu baik.
SMK yang levelnya biasa saja ataupun yang dinilai kurang lulusannya tidak bisa mengakses perusahaan besar. Di wilayah tempat asal tidak tersedia lapangan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. "Misalnya SMK kelautan yang kecil, lulusannya tidak mau bekerja di industri pelayaran lokal karena masih sangat tradisional. Mereka justru memilih bekerja menjadi satpam karena pelatihan di SMK kelautan yang disiplin dinilai memenuhi standar pekerjaan di sektor keamanan," papar Makmuri.
Tepat guna
Makmuri menuturkan, SMK perlu menyusun sistem pembelajaran yang selain sesuai standar industri juga mengadopsi pengetahuan dan potensi lokal. Alasannya karena lapangan pekerjaan tidak semuanya memiliki teknologi termutakhir. Kemampuan siswa mengombinasikannya dengan keterampilan manual juga menjadi daya tarik mereka bagi sektor industri.
Di samping itu, Kemendikbud juga perlu meninjau ulang fungsi bantuan operasional sekolah (BOS) untuk SMK. Bagi SMK besar yang bersiswa banyak, BOS yang terkumpul bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang bisa digunakan untuk pengadaan alat bantu pembelajaran.
"Masalahnya, banyak juga SMK kecil yang tetap menerima BOS, tetapi hanya untuk memastikan sekolahnya berjalan. Tidak ada penjaminan mutu. Harus ada pengaturan dan tindakan tegas terkait SMK yang seperti ini," tuturnya.
Kemitraan
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang Indonesia Bob Azam mengatakan, setiap industri dianjurkan membentuk kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah. Hal ini guna memastikan industri turut mengembangkan pendidikan vokasi, terutama untuk menciptakan standar, merumuskan kurikulum, pengawasan pelaksanaan kurikulum, dan pemagangan.
"Standar dan kurikulum juga tidak kaku dalam artian secara berkala harus diubah sesuai perkembangan zaman. Industri tidak bisa berpangku tangan, melainkan harus menjaga komunikasi aktif dengan sektor pendidikan," tutur Bob. (DNE)